8 Golongan Asnaf yang Layak Menerima Zakat

Firman Allah swt dalam surah at Taubah ayat 60 bermaksud:

60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].
[647] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

1. Fakir (al Fuqara) – adalah orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan keperluannya. Tidak mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.
2. Miskin (al-Masakin) – mempunyai kemampuan usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya
3. Amil – orang yang dilantik untuk memungut dan mengagih wang zakat.
4. Muallaf – seseorang yang baru memeluk agama Islam.
5. Riqab – seseorang yang terbelenggu dan tiada kebebasan diri.
6. Gharimin – penghutang muslim yang tidak mempunyai sumber untuk menjelaskan hutang yang diharuskan oleh syarak pada perkara asasi untuk diri dan tanggungjawab yang wajib ke atasnya.
7. Fisabilillah – orang yang berjuang, berusaha dan melakukan aktiviti untuk menegakkan dan meninggikan agama Allah.
8. Ibnus Sabil – musafir yang kehabisan bekalan dalam perjalanan atau semasa memulakan perjalanan dari negaranya yang mendatangkan pulangan yang baik kepada Islam dan umatnya atau orang Islam yang tiada perbekalan di jalanan.

I. Fakir (al Fuqara) –
adalah orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan keperluannya. Tidak mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.

Bagaimana menurut Al-Quran ?.
Menurut Bahasa Arab, Fakir berasal dari kata “Faqara” yang artinya orang yang patah tulang belakangnya. Atau orang yang sangat berhajat kepada sesuatu, karena miskin. Atau orang yang papa dan termiskin.

Kata Miskin, juga berasal dari Bahasa Arab “Sakana” yang berarti diam, tidak banyak bergerak, karena miskin. Inilah yang terbanyak di negeri kita.

Dalam Ilmu Fikih, orang miskin ialah orang yang berpenghasilan rendah, dan tidak mencukupi penghasilan yang ia peroleh. Sedang fakir ialah orang yang tidak berharta dan tidak berpenghasilan. Kedua istilah ini sering digabung menjadi Fakirmiskin, sebagai gambaran orang yang lemah dan perlu di tolong.

Menurut salah satu ayat dalam Surah Al-Ma’un, seorang muslim sekalipun ia mengerjakan salat masih dapat disebut orang celaka, jika tidak suka membantu orang miskin.

Bahkan makna Pendusta agama itu, diantaranya orang yang “ WALA YAHUDDHU… “( Orang yang tidak menganjurkan memberi makanan orang miskin ).

Menurut ulama Tafsir WALA YAHUDDHU berarti, tidak menganjurkan. Atau tidak menyadari dan tidak menangani orang miskin sebagai tugas tugas kita semua. Termasuk bagi mereka yang hidupnya menengah ( pas-pasan ) Jika tidak memungkinkan dapat menyumbang uang dan harta, maka yang harus dilakukan adalah menyumbangkan tenaganya dengan jalan menganjurkan atau ikut Tim yang dapat mengentaskan orang-orang Miskin.

Dari ayat tersebut dapat dipahami, bahwa orang-orang yang akan menghuni neraka nanti ialah orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula mendorong orang lain, memberi makan orang-orang miskin diserkelilingnya.

II. Miskin (al-Masakin) –
mempunyai kemampuan usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya

19. dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian[1417].

[1417] Orang miskin yang tidak mendapat bagian Maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta.

Hak orang miskin:
Menurut Al-Quran, WAFI AMWALIHIM HAQQUN LISSAILIN (Didalam harta mereka ( yang kaya) terdapat hak orang-orang peminta-minta dan tidak meminta ) (QS 51:19).

Hal ini dipahami, nahwa harta benda yang bertahun-tahun kita kumpulkan, bukan seluruhnya milik kita, sekalipun kita sendiri yang berusaha dan membanting tulang. Sebagian kecil didalamnya kepunyaan orang miskin.Bahkan kata kasarnya, jika kita gunakan sendiri, kita dianggap termasuk kelompok perampas hak orang miskin. Agama mewajibkan kita memberikan sebagian kepada mereka yang miskin. Tidak banyak. Zakat itu tidak berkisar antara 2, 5 – 2O % pertahun. Tapi sebagian mufasir menganjurkan, setiap menerima rezeki, langsung dikeluarkan juga seketika, karena ditafsirkan masuk kelompok “ghanimah ” (rezeki mendadak), semacam honor atau jasa dari keahlian.Dan Inilah yang diperaktekkan sebagian negeri-negeri Islam di Timur Tengah, sehingga orang miskinnya berkurang.

Jika kita berpikir rasional,sebenarnya harta benda yang dikumpulkan orang yang berpunya (aghniya) , sebagian dari jasa yang ikut bermandi keringat, ketika mengangkat harta itu misalnya dari pelabuhan ke gudang, waktu barang-barang itu diimpor atau diekspor. Sebab itu wajar juga, jika memperoleh bahagian kecil.

Alhasil, pemberian yang disumbangkan kepada orang miskin, memang awalnya adalah haknya sendiri, lalu diperkuat Al-Qutan. Dan tidak akan merugikan orang mampu ( aghniya ).

276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah[177]. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178].

[177] Yang dimaksud dengan memusnahkan Riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.
[178] Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan Riba dan tetap melakukannya.

Harta bertambah:
Bantuan yang diberikan kepada orang miskin, bukan berkurang, tapi akan semakin bertambah. Al-Quran menyebutnya “WAYURBI SHADAQAT “(Allah menghancurkan sistem riba dan mengembangbiakkan sedekah) (QS.2: 276)

Untuk membuktikan kebenaran ayat ini, penulis pernah membaca riwayat hidup seorang pengusaha sukses di daerah ini. Ketika keuangannya melaporkan saldo kas sisa sedikit, justru diperintahkan kepadanya, untuk mengeluarkan semuanya dan membaginya kepada orang-orang miskin. Apa yang terjadi ?. Dalam waktu yang relative singkat, uang yang dibagikan itu terganti, mebihi dengan yang telah disedekahkan.Boleh dicoba asal ikhlas.

Bantuan yang diberikan kepada orang miskin, sekaligus menghilangkan jurang pemisah antara sikaya dan miskin. Sebab lanjutan ayat yang memerintahkan agar yang menerima sumbangan dianjurkan Al-Quran “WASHALLI ALAIHIM…

103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.

(Berdoalah untuk mereka, sehingga membawa ketenteraman bagi pemberi sumbangan.).(QS. 9 : 1O3).

Berdasarkan ayat tersebut, maka aghniya hendaknya dengan ikhlas menyerahkan sebagian hartanya dan masakin, hendaknya berterima kasih dengan berdoa, agar lebih murah rezekinya para penyumbang.

Untuk menghidari kemungkinan terjadi korban antrean mustahik menunggu sumbangan seperti bulan Ramadhan yang lalu, sebaiknya orang yang membagikan zakat itu proaktif. Bukan didatangi, tapi mendatangi. Salah satu makna “Atu al-zakat ” dalam Al-Quran berarti proaktif pergi ke lokasi membagi. Itulah arti Walmarhum ( yaitu miskin, tapi tidak pergi minta-minta), karena malu sehingga wajib bagi amil mengantarkan. Inilah kaifiat pendistribusian sedekah yang benar.

Akhirnya, makna menyumbang (Atu zakat ) kepada orang miskin ialah senantiasa siap bergerak membantu sekalipun dasarnya adalah kewajiban Negara, sesuai undang-undang. Tapi karena Islam mewajibkan lebih dulu sesuai Al-Quran, maka kita semua harus membantu pemerintah. Bantuan “ aghniya ” sesuai keikhlasan. Minimal sama kadarnya kewajiban zakat tahunan ( antara 2,5 % sampai 2O % ).Tapi bantuan yang lebih baik seperti yang dilakukan Rasul adalah membantu yang produktif. Hal itu ditempuh juga di Korea yaitu petani penyewa diubah statusnya menjadi pemilik. Dan bantuan berikutnya berupa bibit, air dan kredit murah.

Bantuan muslim yang berpenghasilan menengah, minimal ikut menjadi Amil ( panitia), sehingga semua muslim rata-rata berada dalam koridor pencinta rakyat miskin seperti sifat Rasulullah SAW.

Untuk menghindari pembagian yang dapat membawa bencana, kaifiatnya mengantarkan ke gubuk orang miskin, seperti yang dipraktekkan Khalifah Umar bin Khattab RA.
III. Amil
Amil dalam zakat adalah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran atau penyuluhan masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar zakat dan mereka yang menjadi mustahiq, mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta menginvestasikan harta zakat sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam rekomendasi pertama Seminar Masalah Zakat Kontemporer Internasional ke-3, di Kuwait. Lembaga-lembaga dan panitia-panitia pengurus zakat yang ada pada zaman sekarang ini adalah bentuk kontemporer bagi lembaga yang berwenang mengurus zakat yang ditetapkan dalam syari’at Islam. Oleh karena itu, petugas (amil) yang bekerja di lembaga tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
Tugas-tugas yang dipercayakan kepada amil zakat ada yang bersifat pemberian kuasa (karena berhubungan dengan tugas pokok dan kepemimpinan) yang harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama fikih, antara lain muslim, laki-laki, jujur, dan mengetahui hukum zakat Ada tugas-tugas sekunder lain yang boleh diserahkan kepada orang yang hanya memenuhi sebagian syarat-syarat di atas, yaitu akuntansi]], penyimpanan, dan perawatan aset yang dimiliki lembaga pengelola zakat, pengetahuan tentang ilmu fikih zakat, dan lain-lain.
Para amil zakat berhak mendapat bagian zakat dari kuota amil yang diberikan oleh pihak yang mengangkat mereka, dengan catatan bagian tersebut tidak melebihi dari upah yang pantas, walaupun mereka orang fakir. Dengan penekanan supaya total gaji para amil dan biaya administrasi itu tidak lebih dari seperdelapan zakat (13.5%). Perlu diperhatikan, tidak diperkenankan mengangkat pegawai lebih dari keperluan. Sebaiknya gaji para petugas ditetapkan dan diambil dari anggaran pemerintah, sehingga uang zakat dapat disalurkan kepada mustahiq lain.
Para amil zakat tidak diperkenankan menerima sogokan, hadiah atau hibah, baik dalam bentuk uang ataupun barang.
Melengkapi gedung dan administrasi suatu badan zakat dengan segala peralatan yang diperlukan bila tidak dapat diperoleh dari kas pemerintah, hibah atau sumbangan lain, maka dapat diambil dari kuota amil sekedarnya dengan catatan bahwa sarana tersebut harus berhubungan langsung dengan pengumpulan, penyimpanan dan penyaluran zakat atau berhubungan dengan peningkatan jumlah zakat.
Instansi yang mengangkat dan mengeluarkan surat izin beroperasi suatu badan zakat berkewajiban melaksanakan pengawasan untuk meneladani sunah Nabi saw dalam melakukan tugas kontrol terhadap para amil zakat. Seorang amil zakat harus jujur dan bertanggung jawab terhadap harta zakat yang ada di tangannya dan bertanggung jawab mengganti kerusakan yang terjadi akibat kecerobohan dan kelalaiannya.
Para petugas zakat seharusnya mempunyai etika keislaman secara umum. Misalnya, penyantun dan ramah kepada para wajib zakat (muzaki) dan selalu mendoakan mereka. Begitu juga terhadap para mustahiq, mereka mesti dapat menjelaskan kepentingan zakat dalam menciptakan solidaritas sosial. Selain itu, agar menyalurkan zakat sesegera mungkin kepada para mustahiq.

IV. Mu’allaf
Mu’allaf adalah sebutan bagi orang non-muslim yang mempunyai harapan masuk agama Islam atau orang yang baru masuk Islam. Pada Surah At-Taubah Ayat 60 disebutkan bahwa para mu’allaf termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat.
Ada tiga kategori mualaf yang berhak mendapatkan zakat:
1. Orang-orang yang dirayu untuk memeluk Islam: sebagai pendekatan terhadap hati orang yang diharapkan akan masuk Islam atau ke-Islaman orang yang berpengaruh untuk kepentingan Islam dan umat Islam.

2. Orang-orang yang dirayu untuk membela umat Islam: Dengan memersuasikan hati para pemimpin dan kepala negara yang berpengaruh, baik personal maupun lembaga, dengan tujuan ikut bersedia memperbaiki kondisi imigran warga minoritas muslim dan membela kepentingan mereka. Atau, untuk menarik hati para pemikir dan ilmuwan demi memperoleh dukungan dan pembelaan mereka dalam permasalahan kaum muslimin. Misalnya, membantu orang-orang non-muslim korban bencana alam, jika bantuan dari harta zakat itu dapat meluruskan pandangan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.

3. Orang-orang yang baru masuk Islam kurang dari satu tahun yang masih memerlukan bantuan dalam beradaptasi dengan kondisi baru mereka, meskipun tidak berupa pemberian nafkah, atau dengan mendirikan lembaga keilmuan dan sosial yang akan melindungi dan memantapkan hati mereka dalam memeluk Islam serta yang akan menciptakan lingkungan yang serasi dengan kehidupan baru mereka, baik moril maupun materiil.

V. RIQAB
Secara bahasa riqab adalah jamak dari raqabah yang artinya adalah tengkuk (leher bagian belakang), seluruh tubuh dinamakan dengan satu anggota karena nilai anggota ini yang berharga, kata raqabah digunakan secara mutlak dengan makna hamba sahaya, jadi riqab adalah hamba sahaya yang dimiliki oleh seseorang, dan di sini mencakup mukatab, yaitu hamba sahaya yang berakad dengan majikannya untuk menebus dirinya atau ghairu mukatab.

Riqab berhak menerima zakat, bila dia mukatab maka untuk membantu pembayaran yang harus ditunaikannya kepada majikannya dan bila dia bukan mukatab, maka agar dia bisa menebus dirinya dari majikannya sehingga dia menjadi orang merdeka.

Apakah tawanan muslim termasuk riqab?

Atau dengan kata lain, bisakah harta zakat dari pos riqab ini digunakan untuk membebaskan tawanan muslim dari tangan orang-orang kafir?

Pendapat yang rajih adalah pendapat yang membolehkan memberikan zakat dari pos riqab untuk membebaskan tawanan muslim karena:

1- Membebaskan tawanan dari penawanan tidak berbeda dengan memerdekakan hamba sahaya dari penghambaan.

2- Harta yang dibayarkan untuk membebaskan tawanan sama dengan harta yang dibayarkan untuk gharim agar terbebas dari belitan hutang.

3- Bahwa ayat hadir dengan kata riqab mencakup hamba sahaya, mukatab dan tawanan.

Pos riqab untuk membantu bangsa muslim yang terjajah

Pendapat pertama: disyariatkan. Pendapat kedua: tidak disyariatkan.
Pendapat pertama berdalil: penjajahan atas suatu bangsa lebih berat dan lebih berbahaya dibandingkan dengan penghambaan dalam skala pribadi.

Pendapat kedua berdalil: dicaploknya(dikuasainya-ed) negeri Islam oleh orang-orang kafir tidak termasuk ke dalam makna riqab, tidak dari sisi bahasa dan tidak pula dari sisi syara’.

Tarjih: Pendapat kedua adalah pendapat yang rajih berdasarkan:

1- Tidak adanya dalil yang menunjukkan bahwa membebaskan suatu bangsa dari penjahahan termasuk ke dalam makna riqab.

2- Tidak adanya hajat untuk itu, karena masih ada pos-pos lain untuk menopang tujuan tersebut, bisa dari pos fi sabilillah atau dari pos lainnya dari Baitul Mal. Wallahu a’lam.

VI. Gharimin
Gharimîn adalah kata dari bahasa Arab yang bermakna orang-orang yang memiliki hutang.
Orang berutang yang berhak menerima kuota zakat adalah orang-orang dalam golongan:
• Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan.
2. Utang itu melilit pelakunya.
3. Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya.
4. Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada si pengutang.
• Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berutang untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya diyat (denda kriminal) atau biaya barang-barang yang dirusak. Orang seperti ini berhak menerima zakat, walaupun mereka orang kaya yang mampu melunasi utangnya.
• Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, dimana yang menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan keuangan.
• Orang yang berutang untuk pembayaran diyat (denda) karena pembunuhan tidak sengaja, apabila keluarganya (aqilah) benar-benar tidak mampu membayar denda tersebut, begitu pula kas negara.
Pembayaran diyat itu dapat diserahkan langsung kepada wali si terbunuh. Adapun diyat pembunuhan yang disengaja tidak boleh dibayar dari dana zakat. Namun demikian, tidak boleh mempermudah pembayaran diyat dari dana zakat, karena banyaknya kasus pembunuhan tidak sengaja, sebab para mustahiq zakat yang lain juga sangat membutuhkannya. Untuk itu, dianjurkan membuat kotak-kotak dana sosial untuk meringankan beban orang yang menanggung diyat seperti ini, misalnya karena kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Juga sugesti membuat kotak-kotak dana sosial keluarga atau profesi untuk menyerasikan sistem aqilah (sanak keluarga yang ikut menanggung diyat pembunuhan tidak sengaja) sesuai dengan tuntutan zaman.
KRITERIA GHÂRIMIN PENERIMA ZAKAT
Status ekonomi yang berbeda, merupakan bagian dari realita kehidupan yang tidak bisa dipungkiri. Kondisi ini mestinya tidak mengganggu keharmonisan hubungan antara individu masyarakat yang berbeda status ekonominya, asal masing-masing mengerti hak dan kewajibannya. Karena, mereka sebenarnya saling membutuhkan; si miskin butuh si kaya, begitu sebaliknya. Disamping juga, tidak ada jaminan bahwa kondisi itu akan berlangsung selamanya. Terkadang bisa berubah seratus delapan puluh derajat, si miskin menjelma menjadi orang kaya sementara si kaya terpuruk menjadi si miskin. Ini alasan lain, kenapa si miskin dan si kaya selalu saling membutuhkan. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang tidak mengerti, pura-pura tidak tahu atau memang tidak mau tahu masalah ini. Akibatnya berbagai macam permasalahan bermunculan.

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mengatur hubungan antara yang kaya dan yang miskin, agar terjalin rasa kasih sayang diantara sesama. Zakat yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan atas orang kaya lalu diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya, merupakan salah satu dari cara Islam mengatur hubungan antara si kaya dan si miskin. Dengan ini, si kaya akan menyadari bahwa dalam harta mereka ada bagian untuk orang-orang miskin atau tidak mampu. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (maksudnya orang miskin yang tidak meminta-minta)”. [adz-Dzariyât/51:19]

Diantara yang berhak menerima zakat dari orang kaya adalah al-ghârim (orang yang terlilit hutang). Namun penerima zakat yang satu ini harus memenuhi beberapa kriteria sehingga zakat yang dikeluarkan oleh orang-orang kaya tepat sasaran dan tidak berpotensi menyuburkan ketamakan. Dengan demikian, hikmah zakat akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Yang berhak menerima, merasa terbantu dan tidak berpikir untuk melakukan tindakan negatif.. Sementara si kaya merasa tenang dan nyaman karena sudah melaksanakan syari’at dengan benar dan akan mendapatkan limpahan do’a dari si miskin. Disamping juga, dia terlepas dari rencana negatif sebagian orang yang mungkin dengan dalih terpaksa melakukan kejahatan.

DEFINISI AL-GHARIM (BANGKRUT)
Dalam mendefinisikan al-ghârim, para Ulama’ berbeda-beda. Ada yang mengatakan, al-ghârim adalah orang yang terlilit hutang. Ada juga yang menambahkan definisi ini dengan menyertakan penyebabnya. Mujâhid rahimahullah mengatakan al-ghârim adalah orang yang menanggung hutang karena rumahnya terbakar, atau hartanya terseret banjir, atau untuk memenuhi kebutuhan keluarganya [1].

Ibnu Atsîr rahimahullah menambahkan, al-ghârim adalah orang yang menjamin pelunasan hutang orang lain, atau orang yang bangkrut guna mencukupi kebutuhan hidup, tidak untuk berbuat maksiat atau berlaku boros (tabdzîr) [2].

Berdasarkan ini, Ulama’ fiqh menentukan kriteria tertentu bagi al-ghârim yang berhak menerima zakat ditinjau dari faktor penyebab pailit atau terlilit hutang.

FAKTOR-FAKTOR PAILIT ATAU TERLILIT HUTANG
Secara garis besar, ada dua jenis penyebab seseorang terlilit hutang atau menjadi al-ghârim:

1. Ghârim limaslahati nafsihi (Terlilit hutang demi kemaslahatan atau kebutuhan dirinya)
2. Ghârim li ishlâhi dzatil bain ( Terlilit hutang karena mendamaikan manusia, qabilah atau suku)

Kedua jenis al-ghârim diatas berhak menerima zakat tetapi dengan syarat tambahan pada ghârim linafsihi yaitu harus dalam keadaan miskin. Sedangkan untuk ghârim li ishlâhi dzatil bain maka boleh diberi zakat meski dia kaya.

I. GHARIM LI MASHLAHATI NAFSIHI
Pada jenis ini ulama mendefinisikan kriteria al-gharîm yang berhak menerima zakat, yaitu mereka yang terjerat hutang untuk maslahat dirinya dan keluarganya, seperti orang yang berhutang untuk makan, pakaian, tempat tinggal atau berobat dsb.

Al-Ba’li rahimahullah berkata, “Al-ghârim adalah orang yang berhutang untuk menafkahi diri dan keluarganya atau untuk berpakaian.”[3]

Juga termasuk kategori al-ghârim jenis ini adalah orang yang terkena bencana alam atau musibah lainnya yang mengakibatkan hartanya habis, contohnya : banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran, pencurian dan sebagainya yang mengakibatkan mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok. Sehingga mereka termasuk fuqara’ (orang-orang fakir). Inilah yang disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam potongan hadits yang panjang dari shahabat Qabishah Radhiyallahu ‘anhu :

وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ

“Dan seorang yang tertimpa bencana sehingga hartanya musnah. Orang ini dihalalkan meminta-minta sampai kembali mendapat harta untuk hidup”.[4]

Apakah Hutang Karena Kafarat Atau Fidyah (Hutang Yang Menyangkut Hak Allâh) Termasuk Ghârim Yang Berhak Diberi Zakat ?
Ada dua pendapat tentang ghârim yang seperti ini :

Pertama : pendapat Ulama’ Hanafiyyah dan Mâlikiyyah yang menyatakan mereka tidak berhak mendapat zakat dari baitul mal. Karena hutang yang dibantu adalah hutang yang berkaitan dengan (hak) manusia, sedangkan hutang kepada Allâh Azza wa Jalla seperti pembayaran kafarat atau zakat yang tertunda maka tidak bisa diambilkan dari uang zakat.

Kedua : Pendapat sebagian Ulama’ Hanabilah, mereka membolehkan pemberian zakat dari baitul mal untuk al-ghârim jenis ini, dengan dalil bahwa hutang kepada Allâh Azza wa Jalla adalah hutang yang paling berhak untuk dibayar.

Pendapat yang râjih, wallahu A’lam adalah pendapat pertama. Karena sebagian kafarat memiliki pengganti kafarat lainnya yang tidak mesti dengan harta, misalnya dengan puasa. Apabila seseorang tidak mampu membayar kafarat, sesungguhnya rahmat Allâh Azza wa Jalla sangat luas. sehingga bagi yang memiliki hutang dan beniat mengembalikannya niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menutupinya hari qiamat, maka bagaimana dengan orang yang tidak mampu bayar kafarat ? Sedangkan ia telah berniat membayar kafarat namun tidak mampu. Oleh karenanya uang zakat tidak diberikan untuk membayar kafarat-kafarat tersebut.[5]

Bagaimana Jika Seseorang Meninggal Dalam Keadaan Pailit?
Jika seseorang mati meninggalkan hutang yang lebih banyak dari harta warisannya. Apakah boleh dilunasi dengan uang zakat ?

Dalam masalah ini Ulama’ berbeda pendapat, ada yang melarangnya dan ada yang membolehkannya. Pendapat yang melarang adalah pendapat Ulama’ Hanafiyyah dan Hanabilah serta salah satu pendapat Imam Syâfi’i rahimahullah. Sedangkan yang membolehkannya adalah pendapat Mâlikiyyah dan dirâjihkan oleh syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah. Inilah yang rajah berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh imam Bukhâri :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُؤْمِنٍ إِلَّا وَأَنَا أَوْلَى بِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ }فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالًا فَلْيَرِثْهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوا وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلَاهُ

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anmhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada seorang mukmin pun kecuali aku lebih berhak padanya di dunia dan akhirat, bacalah firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya) ” Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” [6], maka mukmin manapun yang mati dan meninggalkan harta maka ahli warisnya yang mewarisi hartanya. Barangsiapa mati meninggalkan hutang atau barang yang hilang maka hendaklah ia mendatangiku karena aku adalah tuannya”.[7]

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa hujah (dasar pijakan) pendapat yang menyatakan mayit termasuk dalam kategori al-ghârim lebih kuat. Ditambah lagi pendapat yang menolak memasukkan mayit sebagai al-ghârim tidak memiliki dalil yang jelas.[8]

II. GHARIM LI ISHLAHI DZATIL BAYYIN
Perselisihan antar suku seringkali berujung peperangan dan mengakibatkan korban yang tidak sedikit. Kondisi ini terkadang menggerakkan hati orang-orang yang berjiwa sosial dan dermawan untuk berupaya memadamkan api permusuhan dengan menjadi penengah. Terkadang upaya yang dilakukan memaksanya merogoh kocek dalam-dalam karena membutuhkan dana besar. Hutang pun terpaksa ditempuh demi menggapai tujuan mulia yaitu menghentikan pertikaian. Orang seperti inilah yang disebut al-ghârim li ishlahi dzâtil bayyin.

Ketika memaparkan pengertian al-ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin, Imam Nawawi rahimahullah dalam Kitâbul Majmû’ menyatakan, “Yaitu seorang yang berhutang untuk mendamaikan pertikaian, seperti jika dikhawatirkan terjadi peperangan antara dua suku atau dua orang yang berselisih, lalu hutang tersebut digunakan untuk memadamkan api permusuhan [9].

Diantara al-ghârim jenis yang kedua yaitu orang yang menghabiskan hartanya untuk membantu saudara seiman yang tertimpa bencana atau musibah. Imam al Murdawai rahimahullah berkata, “Jika seseorang menanggung kerugian orang lain disebabkan harta bendanya musnah atau korban perampokan maka boleh baginya mendapat uang zakat.” [10]

Menurut pandapat jumhur Ulama’, ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin boleh menerima zakat walaupun dia kaya atau mampu. Imam Ibnu Abdil Bar t dalam kitab al-Istidkâr mengatakan, “Tiga imam yaitu imam Mâlik rahimahullah, Syâfi’i rahimahullah, Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan para pengikut mereka menyatakan bahwa ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin boleh mengambil zakat walaupun dia kaya.” [11] Berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ

“Harta sedekah (zakat) itu tidak halal buat orang kaya kecuali lima golongan, yaitu orang yang berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla, amil zakat, ghârim (pailit) , seseorang yang membeli barang zakat dengan hartanya, atau seorang yang memiliki tetangga miskin kemudian ia bersedekah kepadanya, kemudian si miskin tersebut menghadiahkan sedekah tadi kepada orang kaya”. [12]

Syarat-Syarat Ghârim Boleh Menerima Zakat
1. Beragama Islam
Ghârim berhak menerima zakat kalau dia beragama Islam, begitu pula penerima zakat lainnya. Ibnu Mundzir rahimahullah mengatakan, “Para Ulama’ telah bersepakat bahwa zakat itu tidak sah bila diberikan kepada seorang ahli dzimmah ( non muslim).”[13]

2. al-Faqr (Miskin)
Syarat ini berlaku pada ghârim limaslahati nafsihi (untuk kebutuhan pribadi), sedangkan pada ghârim li ishlâhi dzâtil bayyin, syarat ini tidak berlaku. Artinya, dia boleh menerima zakat meskipun dia kaya.

3. Hutang Bukan Karena Untuk Maksiat
Jika hutang tersebut disebabkan maksiat seperti judi, minum khamr, berbuat tabdzîr dan boros, maka ia tidak diberi uang zakat. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Saya tidak pernah mendapati satu pendapat ahli ilmu yang membolehkan zakat diberikan kepada orang yang terbelit hutang dalam rangka berbuat maksiat, sebelum ia bertaubat, kecuali pendapat lemah dari sebagian kecil Syâfi’iyyah, seperti al-Hanathi dan ar-Râfi’y, yang memandang mereka boleh diberi karena Ghârim.[14].

Bagaimana Hukum Orang Yang Terbelit Hutang Ribawi?
Riba merupakan dosa besar dan termasuk maksiat yang telah banyak menalan korban. Karena termasuk maksiat, maka yang terlilit hutang ribawi, ia tidak boleh diberi zakat untuk melunasinya, kecuali jika bertaubat. Akan tetapi bagi yang terpaksa berhutang dengan system riba untuk kebutuhan pokok, seperti sandang papan atau pangan, maka baitul mal boleh memberikannya zakat. Hukum darurat ini diukur sesuai kebutuhan.[15]

4. Tidak Mampu Mencari Penghasilan Lagi
Ulama’ berselisih dalam masalah ini. Sebagian Ulama syâfi’iyah dan sebagian hanabilah memperbolehkan pemberian zakat pada orang yang masih mampu bekerja. Menurut penyusun kitab Abhâtsun fi Qadâyâz Zakât, hukum yang benar dalam masalah ini yaitu bila hutangnya banyak dan dia kesulitan sekali untuk melunasinya maka ia boleh menerima zakat walaupun ia masih mampu bekerja. Akan tetapi sebaliknya, jika hutangnya sedikit atau pihak pemberi hutangan memberikan tambahan waktu maka hendaknya ia tidak mengambil zakat dan berusaha untuk melunasinya (sendiri). [16]

5. Bukan Keturunan Bani Hâsyîm (Keturunan Kerabat Rasûlullâh Shallallahu Alaihi Wa Sallam)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِىَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ مُحَمَّدٍ

“Sesungguhnya sedekah ini adalah kotoran manusia [17], dan ia tidak halal untuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga keluarga Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [18]

6. Waktu Pelunasan Sudah Jatuh Tempo
Jatuh tempo merupakan syarat yang diperselisihkan oleh para Ulama’. Ibnu Muflih rahimahullah berpendapat, “Hukum yang nampak dari hadits Qabishah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ghârim boleh mengambil zakat walaupun belum jatuh tempo.”[19]

Namun Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa ghârim tidak boleh diberi zakat kecuali setelah jatuh Tempo. [20]

Dr. Sulaiman al-Asqar menguatkan pendapat pertama dengan catatan, baitul mal boleh mengeluarkan zakat untuk ghârim tersebut, apabila jatuh tempo tinggal beberapa bulan atau sudah masuk dalam tahun jatuh tempo. Jika temponya masih beberapa tahun atau lebih dari satu tahun maka tidak berhak menerima zakat untuk melunasi hutang, kecuali kondisi orang yang memberikan hutangan dalam keadaan sakit atau membutuhkan. Wallahu A’lam. [21]

7. Ghârim Bukan Termasuk Dalam Tanggungan Muzakki (Orang Yang Berzakat)
Apabila gharîm berada dalam tanggungan muzakki seperti istri atau kerabat lain, maka zakat yang diberikan kepada orang-orang ini tidak sah. Karena seolah-olah dia membelanjakan harta untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, apa yang dikeluarkan ini tidak bisa dinamakan zakat, namun dianggap sebagai nafkah yang diberikan oleh kepala rumah tangga untuk keluarganya. Orang-orang yang termasuk dalam tanggungan muzakki adalah istri, anak dan keturunannya dan Bapak serta kakek keatas. [22]

KADAR ZAKAT YANG DIBERIKAN KEPADA GHARIM
Harta zakat dari baitul mal yang diberikan kepada ghârim yaitu seukuran hutang yang harus dilunasi. Karena tujuan penyaluran zakat untuk ghârim hanya sebatas untuk tujuan ini.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Ghârim diberi zakat untuk menutup hutangnya walaupun sangat banyak”[23]

Ibnu Rusyd rahimahullah, penyusun kitab Bidâyatul Mujtahid menyatakan, “Ghârim diberi dari zakat sejumlah hutangnya jika hutangnya bukan karena maksiat” [24]

Dalam hal ini, sering terkumpul dua sifat yaitu faqir dan ghârim pada seseorang, maka boleh baginya menerima zakat untuk kemiskinannya dan melunasi hutangnya sehingga ia mendapat dua jatah. [25]

Bila kita amati dengan cermat, syariat Islam yang sempurna ini ternyata merupakan solusi terbaik dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi umat, di samping niat yang utama adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dan menjalin ukhuwah Islamiyah di antara kaum Muslimin.

Semoga tulisan singkat ini dapat bermanfaat bagi kita dan menumbuhkan semangat dalam bersedekah tidak hanya di bulan suci Ramadhan semata. Wallahu a’lam

AL-GHARIMIN (ORANG YANG MENANGGUNG HUTANG)
Wahai kaum Muslimin yang dirahmati Allah,
MARILAH kita meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan penuh keyakinan dan keikhlasan dengan melakukan segala suruhan-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Mudah-mudahan kita menjadi insan yang bertakwa dan beriman serta selamat di dunia dan selamat di akhirat.
Sesungguhnya agama Islam menyuruh umatnya mencari rezeki supaya dengan rezeki itu nanti mereka dapat menikmati kehidupan ini dengan selesa dan seterusnya dapat beribadat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Selain itu, agama Islam juga mengajar umatnya supaya rezeki yang diperolehi itu digunakan atau dibelanjakan dengan sebaik-baiknya seperti membelanjakan wang bagi keperluan diri, keluarga dan orang-orang yang dibawah tanggungannya, bersikap sederhana dalam berbelanja, bijak mengimbangkan di antara kadar pendapatan dan perbelanjaan dan sebagainya.
Sememangnya keperluan bagi memenuhi tuntutan kehidupan pada zaman ini memerlukan perbelanjaan yang bukan sedikit seperti makan minum, tempat tinggal, kenderaan, pakaian, perbelanjaan anak-anak sekolah dan sebagainya. Apa yang penting kita hendaklah bijak mentadbir kewangan dengan berbelanja hanya pada keperluan asasi, tidak berlebih-lebihan dan tidak membazir. Ingatlah larangan Allah Subhanahu Wata’ala sebagaimana firman-Nya dalam surah Al- Israa’ ayat 26-27 tafsirnya :

26. dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.

27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.

“Dan janganlah engkau membelanjakan hartamu dengan boros yang melampau-lampau. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara syaitan, sedang syaitan itu pula adalah makhluk yang sangat kufur kepada Tuhan-Nya”.
Sebagaimana diketahui bahawa di antara lapan golongan asnaf yang berhak menerima zakat ialah Al-Gharimin iaitu orang yang berhutang. Tetapi perlulah diketahui bahawa tidak semua orang yang berhutang itu berhak menerima bantuan zakat bagi menyelesaikan hutang-hutang yang ditanggung. Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Muhzatal Mu’min Min Ihya Ulumuddin, Al-Gharimin itu ialah orang yang dibebani hutang dan ia berhutang kerana bertujuan ketaatan atau kerana sebab yang mubah (harus) seperti perbelanjaan ke atas anak isteri sedangkan orang yang berhutang itu dalam keadaan fakir dan miskin, ia tidak lagi sanggup atau berdaya untuk membayar hutangnya itu. Ketika itu bolehlah ia mengadu nasib kepada penguasa sehingga hutang itu dapat dibayar dengan zakat. Kiranya ia berhutang dengan tujuan maksiat, maka tiadalah ia diberikan dari bahagian zakat itu, melainkan jika ia telah bertaubat dengan sebenar-benar taubat. Kiranya orang yang berhutang itu seorang yang kaya atau mempunyai harta benda tiadalah boleh ditunaikan hutangnya itu dari bahagian zakat kecuali jika ia berhutang kerana faedah dan maslahat orang ramai ataupun kerana tujuan memadamkan fitnah atau huru-hara.
Dari itu dapatlah difahami bahawa orang yang berhutang disebabkan perbelanjaan yang tidak perlu maka tiadalah ia berhak menerima zakat. Selain itu juga telah dijelaskan dalam sebuah hadis berkenaan orang-orang yang berhak meminta wang zakat sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Muslim yang menceritakan bahawa Qabisah bin Mukariq Al-Hilali pernah menanggung hutang untuk mendamaikan dua kabilah yang saling bersengketa. Lalu dia datang kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam meminta bantuan kepada Baginda untuk membayar hutangnya itu, Baginda bersetuju dan menyuruhnya menunggu sehingga ada orang datang menghantar zakat dan akan menyerahkan zakat itu kepadanya nanti. Kemudian Baginda bersabda bahawa sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal) kecuali tiga golongan :
Pertama : Orang yang menanggung suatu tanggungan atau beban. Maka orang itu boleh meminta sehingga dia dapat membayar tanggungannya atau bebanannya itu (tanggungan kerana dia berhutang untuk mendamaikan dua qabilah yang sedang bertikai itu). Maka apabila hutang itu telah selesai, maka tidak boleh lagi ia meminta-minta.
Kedua : Orang ditimpa bencana sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh meminta-minta sehingga dia memperolehi sumber kehidupan yang layak bagi dirinya.
Ketiga : Orang yang ditimpa kemiskinan (disaksikan atau diketahui oleh orang yang dipercayai bahawa dia memang miskin) Orang itu boleh meminta-minta hingga memperolehi sumber kehidupan yang layak. Selain tiga golongan tersebut, haram baginya meminta-minta dan haram pula baginya memakan hasil perbuatan meminta-minta itu.
Muslimin yang dirahmati Allah,
Sememangnya tidak dinafikan bahawa Allah Subhanahu Wata’ala telah menetapkan rezeki yang berbeza-beza di antara hamba-hamba-Nya, ada yang hidup dalam kesenangan dan ada pula yang hidup dalam serba kekurangan. Oleh itu dengan adanya pemberian zakat dapatlah membantu golongan yang memerlukan bantuan seperti fakir miskin dan Al-Gharimin iaitu orang yang berhutang. Maka sebagai orang yang menerima agihan zakat hendaklah mensyukuri nikmat tersebut dan hendaklah mengetahui bahawa Allah Subhanahu Wata’ala mewajibkan pemberian zakat itu hanyalah untuk mencukupi keperluannya terutama dalam mengerjakan ketaatan. Wang zakat yang diterima hendaklah dimanfaatkan dan dibelanjakan dengan bijaksana dan berhemah seperti perbelanjaan harian dan perbelanjaan sekolah. Jika wang zakat itu digunakannya untuk maksiat, seolah-olah ia telah mengkufuri nikmat Allah yang diberikan kepadanya, dengan itu jauhlah ia dari rahmat Allah dan mendapat pula kutukkan dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Selain itu mereka hendaklah bersyukur kepada orang yang memberikan zakat serta mendoakan baginya kebaikan. Mereka juga hendaklah memelihara diri dari menerima zakat melainkan dalam kadar yang harus diterimanya iaitu sekadar keperluannya saja. Begitu juga, janganlah ia menerima melainkan sesudah ia yakin bahawa ia mempunyai salah satu sifat dari sifat-sifat asnaf yang berhak menerima zakat yang telah ditetapkan oleh agama Islam.
Namun tidak dinafikan terdapat sebilangan orang yang mencari helah ataupun apa jua cara supaya dirinya dapat menerima zakat seperti orang yang mempunyai wang yang cukup untuk perbelanjaan dirinya dan nafkah orang yang di bawah tanggungannya, tetapi dia berbelanja berlebih-lebihan dengan harapan supaya nantinya dia boleh meminta-minta bantuan wang zakat bagi melangsaikan hutang-hutangnya itu. Niatnya berbuat demikian adalah tidak baik dan perbuatan demikian merupakan suatu penipuan, sedangkan perbuatan menipu adalah berdosa. Perbuatan menipu dalam mencari harta merupakan cara haram yang balasannya tidak lain neraka jahanam.
Muslimin yang berbahagia,
Ingatlah bahawa risiko berhutang itu amat besar. Telah berkali-kali diingatkan dalam hadis-hadis Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam akan risiko orang yang berhutang dimana hutang itu merupakan kegelisahan di waktu malam dan suatu penghinaan di siang hari. Baginda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam sendiri selalu berdoa meminta perlindungan Allah Subhanahu Wata’ala supaya dijauhkan diri bebanan hutang sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, daripada ‘Aisyah Radiallahuanha bahawa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam selalu berdoa di dalam sembahyang yang maksudnya : ‘Ya Allah sesungguhnya Aku berlindung denganmu daripada dosa dan hutang’.

Oleh itu bagi orang yang berhutang hendaklah ia segera membayar hutangnya itu apabila berkemampuan atau mengikut perjanjian yang telah disepakati bersama orang yang memberi hutang. Elakkanlah juga dari melambat-lambatkan membayar hutang sedang ia berkemampuan kerana hukumnya adalah berdosa.
Akhirnya marilah kita memelihara diri dari banyak berhutang dengan mengamalkan perbelanjaan secara sederhana, membeli hanya pada yang perlu, berusaha untuk mendapatkan dan meningkatkan pendapatan serta membanyakkan doa dan selawat. Mudah-mudahan dengan amalan demikian kehidupan kita bahagia dan selamat di dunia dan di akhirat. Amin Ya Rabbal’alamin.
Firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam surah Al-Baqarah ayat 283 tafsirnya :
“Kalau yang memberi hutang percaya kepada yang berhutang, maka hendaklah orang yang dipercayai itu menyempurnakan amanahnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah”.
Fatwa Tentang Masail Asnaf Gharimin Dan Penyelesaiannya

Takrif Al-Gharimin : mengikut ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali ialah orang yang berhutang sama ada hutang untuk dirinya sendiri atau hutang untuk orang lain dan sama ada hutang ini bertujuan untuk melakukan sesuatu kebaikan (taat kepada Allah).
Keputusan:

Takrif Al-Gharimin : mengikut ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali ialah orang yang berhutang sama ada hutang untuk dirinya sendiri atau hutang untuk orang lain dan sama ada hutang ini bertujuan untuk melakukan sesuatu kebaikan (taat kepada Allah).
Syarat-syarat terhadap gharimin yang perlu mendapat bantuan adalah seperti berikut:
(1) Pemohon tidak mempunyai harta atau sumber kewangan yang melebihi keperluan asasinya.
(2) Pinjaman yang dibuat di dalam perkara-perkara yang halal dan harus.
(3) Wujud keperluan menyelesaikan hutang dengan segera.
(4) Wujudnya kemudharatan terhadap diri dan keluarga jika hutang tidak dibayar.
(5) Gharimin yang berhutang untuk menyelesaikan permasalahan asasi seperti kesihatan, pelajaran diperingkat rendah dan menengah, makanan, tempat perlindungan sementara dan segala hutang untuk meninggikan martabat agama dibantu terus dari peruntukan asnaf gharimin tanpa melihat kepada jumlah yang ditanggung.
(6) Gharimin yang berhutang untuk menyelesaikan permasalahan selain dari syarat (5) yang disebutkan di atas dibantu dari peruntukan asnaf gharimin secara Qardhul Hasan dan wajib menjalani tempoh pemulihan.
VII. Fisabilillah
Fisabilillah merupakan gelaran dan sejenis perlakuan yang dianggap mulia dalam Islam. Sejak dahulu lagi Fi sabil Allah yang menjadi polemik di antara ulama. Ada yang menyempitkan makna fi sabil Allah dan ada yang meluaskan pemahamannya. Perbincangan ini bukanlah hanya untuk menyenaraikan pendapat-pendapat yang bercanggah di antara ulama tetapi lebih kepada analisa yang kritis bagi memastikan kebenaran yang tulen yang perlu dipatuhi dan merupakan perbincangan yang melibatkan keharusan talfiq selagi sesuatu masalah itu masih kabur dan tidak nyata. Perbincangan juga melibatkan maslahah yang menjadi alasan dan senjata utama bagi mereka yang mengeluarkan hukum tanpa asas, tanpa memahami dengan mendalam maksud sebenar maslahah dalam Usul Al-Fiqh. Ramai golongan yang suka bercakap mengenai Fiqh tapi tidak didasarkan pada asas sebenar Fiqh itu iaitu usul Al-Fiqh. Realitinya amalan peluasan makna fi sabil Allah memang dipraktikkan di Malaysia tanpa diambil kira asas sebenar syariah. Pemberian zakat kepada mangsa bencana alam, adakah menepati makna fi sabil Allah atau tidak? Pendapat-pendapat ulama terhadap saham fi sabil Allah
A.Golongan yang menyempitkan makna fi sabil Allah.
Mazhab Hanafiyy
Imam Abu Yusof berpendapat bahawa makna fi sabil Allah bermaksud tentera-tentera Islam yang tidak berkeupayaan menyertai perang disebabkan kemiskinan yang dialami, ini merupakan maksud yang mula terlintas di fikiran (al-Kasani 1997 : jil. 2,472).
Imam Muhammad al-Hassan pula berpendapat fi sabil Allah bermaksud orang yang tidak cukup kelengkapan menunaikan haji dengan beralaskan kepada satu hadis bahawa seorang lelaki hendak menyerahkan seekor unta untuk tujuan perang tetapi Rasulullah menyuruh beliau menyalurkannya untuk tujuan haji (al-Kasani 1997 : jil.2,472).
Al-Kasani dalam Badai’ al-sanai’ menjelaskan bahawa maksud fi sabil Allah adalah semua bentuk amalan mendekatkan diri dan ketaatan kepada Allah (Ibn ‘Abidin 1994 : jil.3,289). Ibn Nujaym dalam al-Bahr mengatakan bahawa unsur kefakiran mestilah ada pada setiap bahagian (Ibn Nujaim 1997 : jil.2,422).
Disyaratkan pemilikan harta zakat pada asnaf, maka tidak boleh disalurkan untuk pembinaan masjid, kafan serta pembayaran hutang mayat, pembinaan jambatan, terusan, pembinaan jalan, haji dan jihad yang tiada kaitan dengan pemilikan harta (Ibn Abidin 1994 : jil.3,291).
Ringkasnya ulama Mazhab Hanafi mentakrifkan fi sabil Allah sebagai amalan-amalan yang mendekatkan diri dan ketaatan kepada Allah serta mensyaratkan wujudnya sifat kefakiran bagi bahagian fi sabil Allah kecuali bahagian amil dan berlakunya pemilikan harta, maka tidak harus disalurkan zakat pada pembinaan masjid, pembinaan jambatan, tali air, jalan dan sebagainya.
Mazhab Malikiyy
Ibn al-Arabi dalam Ahkam al-Quran meriwayatkan daripada Imam Malik bahawa maksud fi sabil Allah banyak maknanya, tetapi tiada perselisihan pendapat tentang makna perang pada jalan Allah (Ibn al-Arabi 1967 : jil.2,957).
Muhammad Ibn al-Hakam mengatakan bahawa zakat boleh disalurkan bagi mendapatkan binatang dan senjata bagi kegunaan perang, bagi menahan kemaraan musuh kerana semuanya untuk maslahah perang berhujahkan pada satu hadis yang menerangkan bahawa Rasulullah S.A.W pernah menyalurkan zakat dalam bentuk seratus ekor unta kepada jajahan kekuasaan Sahal Ibn Abi Hathmah bagi meredakan penentangan (Ibn al-Arabi 1967 :jil.2,957).
Al-Dardir menjelaskan dalam Syarh ala Matan Khalil bahawa zakat diberikan kepada tentera-tentera dan keperluan mereka seperti senjata dan kuda (pengangkutan), walaupun tentera itu kaya kerana ia menerima zakat melalui bahagian jihad bukan kefakiran. Diberikan juga kepada pengintip-pengintip walaupun seorang kafir tetapi tidak boleh disalurkan pada pembinaan benteng negara dan dalam perkara yang mempunyai kaitan sebahagian sahaja dalam perang.
Dalam tafsir al-Qurtubi dinyatakan bahawa maksud fi sabil Allah adalah tentera-tentera serta kelengkapan yang berkaitan sama ada miskin kaya dan ini adalah mazhab Maliki (al-Qurtubi 1996 : jil.8,172).
Ringkasnya, makna fi sabil Allah dalam Mazhab Maliki bermakna bagi tujuan peperangan, jihad dan yang berkaitan dengannya, tidak hanya tertakluk pada tentera tetapi lebih meluas pemahamannya merangkumi perkara-perkara yang berkaitan dengan persediaan perang dan boleh disalurkan zakat walaupun pada orang kaya.

Mazhab Syafi’iyy
Al-Nawawi dalam Minhaj al-Talibin menjelaskan bahawa maksud fi sabil Allah bermakna tentera-tentera yang tidak menerima gaji daripada kerajaan, iaitu bermakna tentera yang sukarela menyertai peperangan (al-Nawawi 2000 : jil.2,403).
Al-Syafi’iyy menjelaskan dalam al-Umm bahawa bahagian fi sabil Allah disalurkan kepada tentera yang berada dalam kawasan sesuatu zakat yang disalurkan, sama ada pada yang kaya atau miskin kecuali diperlukan sebaliknya (al-Syafie 1993 : jil.2,97).
Ringkasnya, Mazhab Syafi’iyy memfokuskan makna fi sabil Allah hanyalah untuk jihad, tentera yang tidak menerima gaji dan yang berkaitan dengannya walaupun ia kaya.
Mazhab Hanbaliyy
Mazhab Hanbaliyy sama dengan Mazhab Syafi’iyy dalam mentakrifkan fi sabil Allah iaitu dengan makna tentera-tentera sukarela yang tidak menerima gaji daripada kerajaan atau yang menerima gaji tetapi tidak mencukupi keperluan mereka untuk berperang walaupun ia kaya. Al-Bahuti menjelaskan bahawa tidak harus disalurkan zakat selain daripada yang disebutkan oleh Allah seperti pembinaan masjid, jambatan, terusan, pembinaan jalan, kafan mayat dan semua bentuk kebaikan untuk keredaan Allah kerana lafaz امنإ dalam ayat zakat tersebut bermakna hanya (al-Bahuti 1982 : jil.2,283).
Terdapat dua riwayat Imam Ahmad berkaitan dengan haji :
1.Haji termasuk dalam fi sabil Allah berdasarkan pada hadis Umm Mi’qal al-Asadiyyah bahawa suaminya menyerahkan seekor unta untuk tujuan jihad tetapi beliau ingin menggunakannya untuk tujuan haji lantas meminta unta tersebut daripada suaminya tetapi enggan, maka perkara ini diadukan pada Rasulullah dan baginda memutuskan supaya diberikan pada Umm Mi’qal dengan sabda : “Haji dan Umrah itu termasuk fi sabil Allah”.
2.Haji tidak termasuk fi sabil Allah seperti pendapat majoriti ulama. Ibn Qudamah dalam al-Syarh al-Kabir menjelaskan bahawa ini lebih tepat kerana fi sabil Allah bermakna jihad merupakan maksud yang pertama terlintas di fikiran kerana sebahagian besar ayat al-Quran yang menggunakan perkataan sabil Allah membawa erti jihad, ini merupakan zahir ayat (Ibn Qudamah 1995 : jil.4,104).
Rumusan
Hasil daripada kajian ringkas ini menunjukkan bahawa keempat-empat mazhab bersepakat mengatakan bahawa :
1.Jihad atau perang kerana Allah termasuk dalam fi sabil Allah.
2.Penyaluran zakat terhadap tentera-tentera yang terlibat dengan jihad.
3.Ketidakharusan penyaluran zakat bagi tujuan maslahah umum seperti pembinaan empangan, terusan, masjid, sekolah, jalan, urusan jenazah.
B.Gologan yang memperluaskan makna fi sabil Allah.
Al-Razi menyatakan dalam takfsirnya : “Zahir lafaz fi sabil Allah tidak menunjukkan pengkhususan terhadap tentera sahaja justeru al-Qaffal menyatakan dalam tafsirnya mengikut sebahagian fuqaha mengharuskan pembahagian zakat kepada semua bentuk kebaikan seperti mengkafankan mayat, pembinaan benteng dan masjid kerana fi sabil Allah umum bagi semua”. (al-razi 1995 : jil.8,115).
Anas Ibn Malik dan al-Hassan
Ibn Qudamah dalam al-Mughni menyatakan bahawa Anas dan al-Hassan al-Basri pernah mengatakan bahawa “apa yang anda salurkan pada pembinaan jambatan dan jalan ia adalah sedekah yang diterima” (Ibn Qudamah 1995 : jil.4,104).

Al-Imamiyyah al-Ja’fariyyah
Kitab al-Mukhtasar al-Nafi’ menjelaskan bahawa fi sabil Allah bermakna setiap perkara kebaikan dan kepentingan umum seperti haji, jihad dan pembinaan jambatan dan ada pendapat yang mengatakan bahawa ia khusus untuk jihad sahaja.
Kitab Syarai’ al-Islam menyebutkan bahawa kepentingan umum seperti pembinaan jambatan, masjid, haji dan semua bentuk kebaikan termasuk dalam kategori fi sabil Allah (Muhammad jawwad t.th : jil.1,87).
Al-Zaidiyyah
Pengarang al-Rawd al-Nadir menjelaskan bahawa Imam Zayd mengatakan bahawa zakat tidak boleh disalurkan pada urusan jenazah atau pembinaan masjid, tetapi beliau sendiri menyalahi pendapat Imam Zayd dengan mentarjihkan peluasan makna fi sabil Allah (al-Siyaghi t.th ; jil.2,621). Dalam Syarh al-Azhar dinyatakan bahawa harus disalurkan zakat untuk kepentingan umum umat Islam dan ini adalah nas atau keterangan Imam al-Hadi.
Al-Sayyid Rasyid Ridha berpendapat bahawa fi sabil Allah bermaksud maslahah-maslahah umum umat Islam bagi tujuan agama dan negara bukan untuk persendirian, yang paling baik dan patut diutamakan ialah untuk jihad; pembelian senjata, bekalan makanan askar, pengangkutan tentera dan sebagainya, tetapi segala peralatan tersebut perlulah dikembalikan balik pada baitulmal disebabkan sifat fi sabil Allah hanya sah semasa berlakunya peperangan. Termasuk juga pembinaan hospital tentera, kebajikan umum dan pembinaan jalan-jalan, landasan keretapi tentera, menara-menara tentera, lapangan terbang tentera, bagi tujuan bekalan pendakwah-pendakwah Islam melalui institusi-institusi yang berkaitan (Rasyid Ridho t.th : jil.10,585).
Al-Syaikh Mahmud Syaltut
Beliau berpendapat bahawa makna fi sabil Allah bermaksud kepentingan-kepentingan umum yang tidak dimiliki oleh sesiapapun hanya untuk jalan Allah dan untuk kepentingan manusia. Perlu diutamakan persiapan perang bagi mempertahankan kehormatan daripada musuh, termasuklah peralatan yang canggih, hospital tentera dan awam, pembinaan jalan, bagi tujuan pendakwah Islam….dibolehkan penyaluran zakat bagi tujuan pembinaan masjid dengan syarat mengikut keperluan sahaja (Syaltut 1991 : 119).
ANALISA
Hujah-hujah yang dikemukakan oleh setiap golongan menunjukkan bahawa majoriti fuqaha memiliki hujah yang lebih kukuh dan konkrit berbanding golongan yang memperluaskan makna fi sabil Allah. Golongan ini hanya berhujahkan dengan hujah berikut :
1.Umum ayat zakat yang menunjukkan maksud yang merangkumi semua kebajikan.
2.Riwayat-riwayat tabiin dan tabi’ tabiin tanpa alasan yang kukuh.
3.Tafsiran-tafsiran ulama tanpa berdasarkan pada nas atau hujah yang konkrit.
Sebaliknya majoriti fuqaha memiliki hujah dan alasan yang konkrit serta ilmiah dalam menentukan kehendak ayat zakat tersebut melalui hujah-hujah berikut :
1.Takhsis al-‘am ; ayat zakat tersebut menunjukkan lafaz yang umum iaitu fi sabil Allah yang berfungsi mengumumkan makna tersebut iaitu merangkumi semua kebajikan untuk jalan Allah. Tetapi ayat yang bersifat umum ini telah ditakhsiskan oleh hadis yang menerangkan makna fi sabil Allah seperti hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, dan al-Hakim; sahih mengikut syarat Bukhari dan Muslim iaitu sabda Rasulullah : Tidak halal zakat bagi orang yang kaya kecuali lima golongan iaitu tentera berjihad pada jalan Allah….perkataan tentera berjihad pada jalan Allah mentakhsiskan umum makna fi sabil Allah dalam ayat zakat. Tidak ada pertentangan pendapat ulama yang berhujahkan dengan prinsip umum dalam takhsis al-‘am sama ada dengan dalil ‘aqli atau sam’i. (al-Ghazzali 1996 : 245).
2. Apabila berlawanan maksud dalam Quran dan Sunnah antara definisi dari segi bahasa dan syarak maka hendaklah diutamakan definisi syarak dahulu. Al-Ghazzali telah menyatakan bahawa pendapat yang terpilih adalah setiap definisi yang berkaitan dengan penyataan atau suruhan maka perlulah disesuaikan dengan makna syarak (al-Ghazzali 1996 : 190). Ini bermakna maksud fi sabil Allah dari segi syaraknya adalah jihad atau perang pada jalan Allah kerana perbahasan zakat merupakan perbahasan syarak bukan perbahasan bahasa.
3. Perkataan fi sabil Allah jika diperluaskan maknanya maka ini menyebabkan berlakunya fenomena pengulangan terhadap ayat Allah tanpa faedah sedangkan Allah Maha Suci daripada sifat yang sedemikian. Sekiranya kehendak fi sabil Allah merangkumi semua amal kebaikan maka tidak perlu lagi Allah menyebutkan asnaf yang tujuh selain fi sabil Allah. Ini bermakna penetapan kelapan-lapan asnaf tersebut mempunyai tujuan dan hikmah iaitu mengkhususkan fi sabil Allah untuk tujuan jihad atau perang fi sabil Allah bukan sebaliknya. Ini dikuatkan lagi dengan penggunaan kalimat امنإ yang bermaksud hanya iaitu lapan golongan itu sahajalah yang berhak menerima zakat. Sekiranya makna umum yang dimaksudkan, maka kalimah Innama itu juga tidak ada faedahnya disebutkan dan Allah Maha Suci daripada tuduhan-tuduhan seperti ini.
4. Kebanyakan ayat Quran dan hadis Rasulullah apabila membicarakan tentang fi sabil Allah merujuk kepada jihad atau perang fi sabil Allah sekiranya tidak ada qarinah yang memesongkan maknanya kecuali beberapa ayat dan hadis yang menunjukkan makna umum fi sabil Allah disebabkan terdapat qarinah. Perkataan fi sabil Allah dalam ayat zakat tersebut mempunyai makna yang khusus disebabkan tidak terdapat qarinah yang dapat memesongkan maknanya.
5.Sekiranya pemberian zakat kepada mangsa bencana alam dikategorikan sebagai maslahah, adakah ia menepati prinsip maslahah yang sepatutnya? Tambahan pula mazhab Syafie (Syafi’iyy) tidak mengiktirafkan penggunaan maslahah dalam penghasilan hukum secara mutlak dan itulah yang hak (Al-Amidi 2000 : jil.4,919). Kalau dikatakan fenomena talfiq mazhab harus dipraktikkan maka adalah adil jika dilaksanakan juga pada semua aspek syariah tidak hanya bab zakat malah dalam bab-bab yang lain juga. Sekiranya dipraktikkan juga prinsip maslahah ini terhadap penyaluran zakat kepada mangsa-mangsa bencana alam (setelah kajian terperinci menunjukkan bahawa Imam syafie juga mempraktikkan maslahah dengan nama penghujahan dengan asas-asas syariah yang umum serta menyeluruh) maka ia termasuk dalam perkara yang dinyatakan oleh Al-Ghazzali : “Setiap maslahah yang tidak menjuruskan kepada tujuan-tujuan syariat daripada Quran, Hadis dan Ijma’ tergolong dalam maslahah yang janggal yang tidak menepati kehendak syarak maka hukumnya batil dan tidak perlu dipratikkan. Sesiapa yang mempraktikkannya seolah-olah membuat syariat yang baru “(Al-Ghazzali 1996 : 179). Setelah diteliti hujah-hujah majoriti ulama jelaslah bahawa penyaluran zakat kepada mangsa bencana alam tidak menepati prinsip maslahah yang sebenar.
Kompromi
Pengagihan zakat yang telah, sedang dan akan dilakukan perlulah diteliti dengan penuh keinsafan. Pemberian zakat kepada mangsa-mangsa bencana alam bukanlah tidak boleh disalurkan kepada mereka disebabkan mangsa bencana alam ini berbeza situasinya menurut individu. Contohnya pemberian zakat masih boleh diberikan kepada mereka melalui asnaf yang lain seperti mangsa yang mengalami kefakiran atau kemiskinan setelah ditimpa bencana alam tetapi bukan semua mangsa boleh dikategorikan sebagai fakir atau miskin. Begitu juga boleh disalurkan melalui asnaf gharimin tetapi kalau hanya sekadar penghutang kenapa dikhususkan kepada mangsa bencana alam sahaja sedangkan boleh dikatakan semua orang berhutang.
Kesimpulan
Rumusannya, majoriti ulama termasuklah mazhab yang empat mengkhususkan makna fi sabil Allah dengan makna jihad atau perang dan yang berkaitan dengannya. Hanya segelintir sahaja yang memperluaskan makna tersebut dengan hujah yang rapuh. Pemberian zakat kepada mangsa bencana alam memang jelas tidak terdapat dalam asnaf yang lapan yang disebutkan dalam Qur’an. Sebagai alternatifnya segala bantuan yang hendak disalurkan kepada mangsa-mangsa berkenaan bolehlah diambil daripada sumber-sumber kewangan yang lain selain zakat ataupun diteliti dan dibuat analisa sekiranya di antara mangsa-mangsa yang terbabit tergolong dalam asnaf yang tujuh selain fi sabil Allah
VII. Ibnus Sabil
Orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil) adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk kembali ke tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tinggalnya. Jika masih di lingkungan negeri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan membutuhkan, maka ia dianggap sebagai fakir atau miskin.
2. Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam, sehingga pemberian zakat itu tidak menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.
3. Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke negerinya, meskipun di negerinya sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang yang belum jatuh tempo, atau pada orang lain yang tidak diketahui keberadaannya, atau pada seseorang yang dalam kesulitan keuangan, atau pada orang yang mengingkari utangnya, maka semua itu tidak menghalanginya berhak menerima zakat.
Ibnu Sabil iaitu orang asing yang tidak memiliki pembiayaan untuk kembali ke tanah airnya. Golongan ini bolehIbnu sabil adalah musafir yang terputus bekalnya dalam perjalanan sehingga dia tidak bisa pulang ke negerinya. Bagaimana dengan calon musafir? Pendapat pertama: dia tidak termasuk ibnu sabil ini adalah pendapat jumhur, dengan alasan bahwa sabil adalah jalan, maka ibnu sabil adalah orang jalanan yang ada di jalan bukan orang yang hendak jalan. Kedua: muqim termasuk ibnu sabil bila dia hendak berangkat dari negerinya, akan tetapi dia tidak mempunyai harta sebagai bekal dalam safarnya, ini adalah madzhab Syafi’i, dengan mengqiyaskannya dengan musafir dalam arti yang sebenarnya.

Fatwa an-Nadwah li Qadhaya az-Zakah al-Muashirah kesembilan terkait dengan Ibnu Sabil:

1- Ibnu sabil adalah musafir dalam arti yang sebenarnya, sejauh apa pun jarak perjalanannya, yang membutuhkan bekal karena hilangnya harta atau habisnya bekal, sekalipun dia adalah orang kaya di negerinya.

2- Syarat memberikan zakat kepada ibnu sabil adalah:
A- Hendaknya perjalanannya bukan perjalanan maksiat.
B- Hendaknya dia tidak bisa mendapatkan hartanya.

3- Ibnu sabil diberi sesuai dengan hajatnya berupa bekal, perhatian dan penginapan, biaya perjalanan ke tempat yang dituju kemudian pulang ke negerinya.

4- Ibnu sabil tidak dituntut untuk menghadirkan bukti atas lenyapnya harta dan habisnya nafkah, kecuali bila keadaannya tidak menunjukkan hal itu.

5- Ibnu sabil tidak wajib berhutang sekalipun ada orang yang mau memberinya hutang, dia juga tidak wajib untuk bekerja sekalipun mampu bekerja.

6- Ibnu sabil tidak wajib mengembalikan sisa bekal di tangannya dari harta zakat saat dia sudah tiba di negerinya dan hartanya, sekalipun lebih baik baginya bila dia mengembalikan sisa tersebut bila dia adalah orang yang berkecukupan ke Baituz Zakah atau kepada salah satu pos penerima zakat.

7- Orang-orang berikut ini termasuk ke dalam ibnu sabil dengan syarat dan ketentuan di atas:
A- Jamaah haji dan umrah.
B- Penuntut ilmu dan pencari kesembuhan (pengobatan).
C- Para da’i ke jalan Allah Ta’ala.
D- Orang-orang yang berperang di jalan Allah Ta’ala.
E- Orang-orang yang diusir dan dipindahkan dari negeri mereka atau tempat tinggal mereka.
F- Para perantau yang hendak pulang kampung namun tidak memiliki bekal.
G- Orang-orang yang berhijrah yang berlari menyelamatkan agama mereka yang dihalang-halangi untuk pulang ke negeri mereka atau mengambil harta mereka.
H- Orang-orang yang mengemban tugas dan para wartawan yang berusaha mewujudkan kemaslahatan informasi syar’i.

Gelandangan Termasuk Ibnu Sabil?

Pertama: termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr. Yusuf al-Qardhawi. Alasannya orang-orang yang tidak bertempat tinggal adalah orang-orang jalanan, karena mereka tinggal di jalanan dan berlindung di jalanan, sehingga hukum mereka adalah sama dengan orang musafir yang terputus dari hartanya.

Kedua: bukan termasuk ibnu sabil, ini pendapat Dr. Umar al-Asyqar. Alasannya bahwa mereka adalah orang-orang yang tinggal, mereka tidak berharta, sehingga mereka lebih berhak dikategorikan miskin.

Orang-orang di Perantauan demi Mencari Ilmu atau Untuk Bekerja

Sebagian kaum muslimin pergi ke negeri lain untuk menuntut ilmu atau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, dan selama di perantauannya tersebut dia membutuhkan biaya untuk menamatkan belajarnya atau untuk mencari pekerjaan, apakah disyariatkan memberinya dari pos ibnu sabil?

Jawaban dari pertanyaan ini terlihat melalui perincian tentang keadaan mereka. Pertama: mereka mempunyai harta di negeri mereka namun mereka tidak bisa mengambilnya atau memanfaatkannya:

1- Mereka telah tinggal menetap di negeri perantauan, maka mereka bukan ibnu sabil, karena ibnu sabil hanya untuk musafir bukan muqim.

2- Mereka belum tinggal menetap di negeri tersebut, keadaan mereka memiliki dua kemungkinan:

A- Bila diduga mereka akan pulang dalam waktu dekat maka mereka diberi dari pos ibnu sabil kadar yang cukup untuk mereka pulang ke negeri mereka.

B- Bila mereka akan menetap dalam jangka waktu yang lama untuk belajar atau bekerja, maka mereka dihukumi muqim, hal ini menghalangi mereka untuk mengambil zakat dari pos ibnu sabil, bila mereka membutuhkan maka mereka diberi dari pos fakir dan miskin. Wallahu a’lam.

Doa-doa Para Nabi & Rasul yang Terdapat dalam Al-Quran & Al Hadist

Doa-doa orang-orang terdahulu saja (Seperti do’a para Sahabat, tabi’in, tabiit, para Wali, Anbiya diijabah (dikabul) oleh Allah, apatah lagi do’a para Nabi dan Rasul? Hakikatnya do’a para Nabi dan Rasul itu contoh untuk kita (umat) sebagai amaliyah, wabil khusus doa-doaa manusia pilihan, kekasih Allah, Nabi termulia, Rasul paling Agung .

 ”Dan Tuhanmu berfirman : Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk Neraka Jahanam dalam keadaan hina.” (QS. Al-Mukmin : 60)

  • Sementara didalam Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Tirmidzi, Rasulullah bersabda : (yang artinya) ”Do’a itu adalah otaknya ibadah.”
  • Dan Hadist riwayat Imam Hakim dan Abu Ya’la, bersabda Rasulullah : (yang artinya) ”Do’a itu adalah senjata orang yang beriman dan tiangnya agama serta cahaya langit dan bumi.”

”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah : 186)

 ”Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu. (QS. Al-Mukmin : 60)

”Bedo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (QS. Al-A’raaf : 55)

”Maka serulah (sembahlah) Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya” (QS. Al-Mukmin : 65)

 Do’a-do’a para Rasul yang termaktub didalam kitab suci AL-Qur’an dan Al-Hadist seperti berikut ini :

 Doa – doa Nabi Ibrahim

رَبَّنَا وَٱجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ

Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami) sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah : 128-129)

 Menurut riwayat Al-Baghawy, bahwa Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As membaca do’a ini dikala membina Ka’bah.

 

 

رَبِّ ٱجْعَلْنِى مُقِيمَ ٱلصَّلَوٰةِ وَمِن ذُرِّيَّتِى ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَآءِ

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami perkenankanlah do’aku. Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)” (QS. Ibrahim : 40 – 41)

Menurut keterangan ahli tafsir, Nabi Ibrahim As mengucapkan do’a ini sesudah beliau (telah) memperoleh anak Ismail dan Ishaq.

 

رَبِّ هَبْ لِى حُكْمًا وَأَلْحِقْنِى بِٱلصَّٰلِحِينَ

(Ibrahim berdo’a): Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukanlah aku kedalam golongan orang-orang yang shaleh. Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai Syorga yang penuh kenikmatan.” (QS. Asy-Syu’ara : 83-85).

 Dan menurut keterangan ahli tafsir do’a inilah yang selalu diucapkan oleh Nabi Ibrahim As.

”Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku (seorang anak) dari anak-anak yang shaleh.”

 Menurut keterangan ahli tafsir, Nabi Ibrahim memohon dengan do’a ini sebelum memperoleh anaknya Ismail.

 

رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ ٱلْمَصِيرُ ﴿الممتحنة 

رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلَّذِينَ كَفَرُوا۟ وَٱغْفِرْ لَنَا رَبَّنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. Ya Tuhan kami janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah :4-5)

 Menurut keterangan ahli tafsir Nabi Ibrahim As dan pengikut – pengikutnya selalu berdo’a dengan do’a ini.

 

 Do’a – Do’a Nabi Nuh :

قَالَ رَبِّ إِنِّىٓ أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْـَٔلَكَ مَا لَيْسَ لِى بِهِۦ عِلْمٌ ۖ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِى وَتَرْحَمْنِىٓ أَكُن مِّنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakekatnya). Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan tidak menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Hud : 47)

  Menurut Al-Qur’an sendiri, do’a inilah yang diucapkan oleh Nabi Nuh As sesudah ditolak Allah, karena memohon dilepaskan anaknya (Kan’an) yang kafir dan yang tenggelam.

”Ya Tuhanku tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.”

 Menurut ahli tafsir, do’a inilah yang diucapkan Nabi Nuh As sesudah diselamatkan Allah dari bahaya taufan.

 رَّبِّ ٱغْفِرْ لِى وَلِوَٰلِدَىَّ وَلِمَن دَخَلَ بَيْتِىَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَلَا تَزِدِ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا تَبَارًۢا

”Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk kerumahku dengan beriman dan semua orang beriman yang laki-laki dan yang perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang dzalim itu selain binasaan.” (QS. Nuh :28)

  Menurut keterangan ahli tafsir, Nabi Nuh As dikala hendak meminta dibinasakan kaumnya lantaran ingkar, beliau memohon dengan do’a ini untuk diselamatkan beserta pengikut-pengikutnya.

 Do’a Nabi Zakaria

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُۥ ۖ قَالَ رَبِّ هَبْ لِى مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ ٱلدُّعَآءِ

”Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi-Mu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a.” (QS. AL-Imron :38)

 Menurut keterangan ahli tafsir, Nabi Zakaria setelah masuk kedalam mihrabnya dan menguncikan segala pintu, memohon kepada Allah supaya diberikan kepadanya seorang anak yang diterangkan dalam Al-Qur’an dengan do’a ini.

 وَزَكَرِيَّآ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُۥ رَبِّ لَا تَذَرْنِى فَرْدًا وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْوَٰرِثِينَ

Ya Tuhanku, Janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkau lah waris yang paling baik.” (QS. Al-Anbiya : 89)

 Menurut keterangan ahli tafsir, do’a inilah yang diucapkan Nabi Zakaria As ketika beliau belum memperoleh anak.

 Do’a-do’a Nabi Musa

قَالَ رَبِّ ٱشْرَحْ لِى صَدْرِى 

Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku.” (QS

Thaahaa : 25)

 Menurut keterangan ahli tafsir, Nabi Musa As dikala merasa takut menghadapi Fir’aun memohon kepada Allah dengan do’a ini.

 

قَالَ رَبِّ إِنِّى ظَلَمْتُ نَفْسِى فَٱغْفِرْ لِى فَغَفَرَ لَهُۥٓ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku.” (QS. Qashas : 16)

 Menurut keterangan ahli tafsir, do’a ini yang diucapkan oleh Nabi Musa As setelah membunuh orang Kurby.

 

وَٱحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِى

Wahai Tuhan kami, lepaskanlah aku dari kaum yang dzalim.” (QS Thaahaa : 27)

 Do’a inilah yang diucapkan Nabi Musa As ketika meninggalkan Mesir dan menuju ke Mad-yan.

 رَبِّ إِنِّى لِمَآ أَنزَلْتَ إِلَىَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ ….

Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. AL-Qashash :24)

 Do’a inilah yang diucapkan Nabi Musa As ketika sampai di Mad-yan dan menderita kelaparan. 

 قَالَ رَبِّ ٱغْفِرْ لِى وَلِأَخِى وَأَدْخِلْنَا فِى رَحْمَتِكَ ۖ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ

 ”Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukanlah kami kedalam Rahmat Engkau dan Engkau adalah Maha Penyayang diantara Para Penyayang.” (QS. Al-A’raaf : 151)

 أَنتَ وَلِيُّنَا فَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَا ۖ وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْغَٰفِرِينَ

أَنتَ وَلِيُّنَا فَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَا ۖ وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْغَٰفِرِينَ

Engkaulah yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami Rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya. Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan didunia ini dan akherat. Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau.” (QS. AL-A’raaf :155-156)

 Do’a Nabi Isa :

قَالَ عِيسَى ٱبْنُ مَرْيَمَ ٱللَّهُمَّ رَبَّنَآ أَنزِلْ عَلَيْنَا مَآئِدَةً مِّنَ ٱلسَّمَآءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِّأَوَّلِنَا وَءَاخِرِنَا وَءَايَةً مِّنكَ ۖ وَٱرْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ

Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu kehidupan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau, beri rezeki kami dan Engkaulah Pemberi rezeki yang paling utama.” (QS. AL-Maaidah :114)

  Menurut keterangan ahli tafsir, Nabi Isa As sesudah bersembahyang dua rakaat, kemudian menundukkan kepalanya sambil berdo’a dengan do’a ini serta sambil menangis.

 Do’a Nabi Syu’aib :

رَبَّنَا ٱفْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِٱلْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْفَٰتِحِينَ …

Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan yang hak (adil) dan Engkaulan Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-A’raf : 89)

 Menurut ahli tafsir, Nabi Syu’aib setelah putus asa mengajak beriman kaumnya beliau berdo’a dengan do’a ini.

 Do’a Nabi Adam :

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

 ”Ya Tuhan kami, kami telah dzalimkan diri kami sendiri, Jika Engkau tidak mengampuni kami dan Engkau rahmatkan kami, tentulah kami menjadi orang yang rugi.” (Al A’raf : 23)

 Menurut keterangan AL-Qur’an sendiri do’a inilah yang diucapkan Nabi Adam dan Hawa sesudah beliau dikeluarkan dari Syorga dan diusir oleh Tuhan kedunia, dengan memohon ampun terhadap dosanya dengan do’a ini.

 Do’a Nabi Ayyub :

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ

Ya Tuhanku, bahwasanya aku telah ditimpa bencana, dan Engkaulah Tuhan yang paling rahim dari segala yang rahim (Penyanyang.” (Al Anbiyaa : 83)

 Menurut keterangan ahli tafsir, Nabi Ayyub As dikala mendapat cobaan dari Allah lalu berdo’a dengan do’a ini.

 Do’a Nabi Sulaiman :

رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَٰلِحًا تَرْضَىٰهُ وَأَدْخِلْنِى بِرَحْمَتِكَ فِى عِبَادِكَ ٱلصَّٰلِحِينَ ..

Ya Tuhanku, berikanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal shaleh yang Engkau ridhoi dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu kedalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh.” (QS. An-Naml : 19)

 Menurut keterangan ahli tafsir, do’a inilah yang diucapkan Nabi Sulaiman As, sesudah memperoleh kerajaan yang besar dari Allah SWT.

 Do’a – Do’a Nabi Luth :

رَبِّ نَجِّنِى وَأَهْلِى مِمَّا يَعْمَلُونَ

 (Luth berdo’a) : “Ya Tuhanku selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan.” (QS. Asy-Syu’araa :169)

 Menurut keterangan ahli tafsir, do’a inilah yang diucapkan Luth untuk memohon supaya beliau dan keluarganya dipelihara Allah dari tindakan kaumnya yang buruk itu.

“Tuhanku, tolonglah aku terhadap kaum yang berbuat kerusakan.”

  Menurut keterangan ahli tafsir, Nabi Luth berdo’a dengan do’a ini sesudah kaumnya meminta supaya mereka beri bencana oleh Allah sekiranya kalau Luth benar-benar seorang Nabi.

 Do’a Nabi Yusuf :

رَبِّ قَدْ ءَاتَيْتَنِى مِنَ ٱلْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِى مِن تَأْوِيلِ ٱلْأَحَادِيثِ ۚ فَاطِرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ أَنتَ وَلِىِّۦ فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ ۖ تَوَفَّنِى مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِى بِٱلصَّٰلِحِينَ

Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS. Yusuf :101)

 Menurut keterangan ahli tafsir, Nabi Yusuf memohon kepada Allah dengan do’a ini dikala beliau dijadikan wazir Negara Mesir.

 

 Do’a Nabi Yunuf :

 وَذَا ٱلنُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَٰضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِى ٱلظُّلُمَٰتِ أَن لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَٰنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

”Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau Maha Suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Anbiya :87)

 Menurut keterangan ahli tafsir, inilah tasbih yang diucapkan Nabi Yunus dikala beliau ditelan ikan.

 Do’a – Do’a Nabi Muhammad :

وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِى ٱلدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

Wahai Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan dunia dan kebaikan di akhirat dan periharalah kami dari adzab neraka.” (QS Al Baqarah : 201)

 Menurut riwayat Al-Baghawy dari Anas ra, do’a inilah yang selalu diucapkan Nabi Muhammad (lihat tafsir Al-Baghawy I :158)

  رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ ۚ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ

”Ya Tuhan kami, Janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, Janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, Janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. (QS. Al-Baqarah : 286)

 Menurut riwayat Al-Baihaqy, Nabi Muhammad bersabda : ”Dua ayat dari akhir AL-Baqarah, apabila seseorang membacanya dimalam hari, maka terpeliharalah ia dari segala bencana.”

 رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ

”Ya Allah, Janganlah Engkau palingkan hati kami setelah menerima petunjuk Engkau, dan berilah kami akan Rahmat dari Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang banyak pemberiannya.” (QS. Al-Imran : 8)

 Menurut riwayat AL-Baghawy, Nabi bersabda : ”Segala jiwa manusia terletak antara dua tangan Tuhan, Tuhan memerengkan dan Tuhan melempangkannya. Karena itu Nabi berdo’a selalu mengucapkan : Allahumma ya muqallibal qulubi tsabit qulubana ’ala diinika. 

 رَبَّنَآ إِنَّكَ جَامِعُ ٱلنَّاسِ لِيَوْمٍ لَّا رَيْبَ فِيهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُخْلِفُ ٱلْمِيعَادَ

”Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan) pada hari yang tak ada keraguan padanya.” Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (QS. Al-Imran : 9)

 

قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلْمُلْكِ تُؤْتِى ٱلْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلْمُلْكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُ ۖ بِيَدِكَ ٱلْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

”Katakanlah : Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau Cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam kesiang dan Engkau masukkan siang kedalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisap. (QS. Ali Imran : 26-27)

 Menurut riwayat Al-Baghawy bahwa Rasulullah SAW bersabda : Fatihatul Kitab dan dua ayat dari Al – Imron yaitu dari ayat 26-27 bila dibaca dibelakang shalat, niscaya Tuhan menjanjikan Syorga untuknya.

 وَقُل رَّبِّ أَدْخِلْنِى مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِى مُخْرَجَ صِدْقٍ وَٱجْعَل لِّى مِن لَّدُنكَ سُلْطَٰنًا نَّصِيرًا

”Ya Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara yang baik dan keluarkanlah aku dengan cara yang baik dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS. Al-Israa : 80)

 Menurut keterangan ahli tafsir, Nabi SAW berdo’a dengan do’a ini memohon kepada Allah supaya beliau dapat mengalahkan musuh-musuhnya sesudah berkediaman di Madinah.

 فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ ٱلْمَلِكُ ٱلْحَقُّ ۗ وَلَا تَعْجَلْ بِٱلْقُرْءَانِ مِن قَبْلِ أَن يُقْضَىٰٓ إِلَيْكَ وَحْيُهُۥ ۖ وَقُل رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًا

Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan 

 Menurut keterangan ahli tafsir, do’a inilah yang diucapkan Nabi untuk memperoleh faham yang luas dalam memahamkan ayat-ayat Allah.

 قَٰلَ رَبِّ ٱحْكُم بِٱلْحَقِّ ۗ وَرَبُّنَا ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ

”Ya Tuhanku, berilah keputusan dengan adil. Dan Tuhan kami ialah Tuhan Yang Maha Pemurah lagi yang dimohonkan pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu katakan.” (QS. Al-Anbiyaa : 112)

 Menurut keterangan ahli tafsir, do’a inilah yang diucapkan Nabi Muhammad sebelum beliau memperoleh kemenangan perang Badar. (Al-Khazim 4 : 264)

 رَبِّ فَلَا تَجْعَلْنِى فِى ٱلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

”Ya Tuhanku, maka janganlah Engkau jadikan aku berada diantara orang-orang yang dzalim.” (QS. Al_Mukminun : 94)

 Menurut keterangan ahli tafsir do’a inilah yang diucapkan Nabi Muhammad supaya dipelihara Allah dari bencana yang mungkin menimpa kaum yang dzalim.

 وَقُل رَّبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَٰتِ ٱلشَّيَٰطِينِ 

وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَن يَحْضُرُونِ 

”Ya Tuhanku aku berlindung kepada-Mu dari bisikan – bisikan syaithan. Dan Aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku dari kedatangan mereka kepadaku.” (QS. Al-Mukminun : 97-98)

 Menurut keterangan ahli tafsir inilah salah satu do’a yang diperintahkan supaya Nabi membacanya : Karena do’a ini sering sekali meminta perlindungan dengan membaca do’a ini, yang tersebut dalam Iftitah shalat. (Lihat Al-Khazim, 5 : 36)

 Saudaraku, sesungguhnya masih terlalu banyak do’a-do’a Nabi Muhammad yang terdapat didalam Kitab Suci AL-Qur’an dan Al-Hadist…

IKHLAS DALAM BERAMAL, CELAAN RIA DAN MENINGGALKAN NAHI MUNGKAR

Artinya :

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : “Rasulullah saw. bersabda : “Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : “Aku adalah penyekutu yang paling tidak membutuhkan sekutu, barang siapa yang beramal suatu amal di dalamnya ia mensekutukan kepada selain Ku, maka Aku meninggalkannya dan sekutunya”. (Hadits ditakhrij oleh Muslim).

 

 


Artinya:

Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : “Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : “Aku adalah penyekutu yang paling tidak membutuhkan sekutu, barang siapa yang beramal sesuatu amal ia mensekutukan kepada selainKu, maka Aku terlepas dari padanya, amal itu untuk sesuatu yang ia sekutukan”. (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).

 

 

 


Artinya :

Dari Abi Sa’id bin Abu Fadhalah ra., ia berkata : Rasulullah saw bersabda : “Apabila Allah mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan terkemudian pada hari Qiyamat, suatu hari yang tidak diragukan lagi, maka berserulah penyeru : “Barang siapa yang mensekutukan dalam amal yang dikerjakannya karena Allah maka mintalah pahalanya kepada selain Allah, karena Allah itu penyekutu yang paling tidak membutuhkan sekutu”.

 

 

 

 

KEUTAMAAN DZIKIR DAN KALIMAH TAUHID


 

 

 

Artinya :

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Ra;uluilah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat yang mondar mandir di jalan mencari ahli dzikir. Apabila mereka mendapat kaum yang sedang berdzikir kepada Allah mereka memanggil-manggil : “Marilah kepada keperluanmu”.

Beliau bersabda : “Malaikat itu mengitari dengan sayap mereka ke langit dunia. Beliau bersabda : Tuhan mereka berfirman pada hal Dia lebih mengetahui tentang mereka : “Apakah yang diucapkan oleh para hambaKu?”. Beliau bersabda : Malaikat menjawab : “Mereka sedang me Maha Sucikan Mu, me Maha Besarkan Mu, memujiMu dan me Maha Muliakan Mu”. Tuhan berfirman : “Apakah mereka melihat Ku?”. Beliau bersabda : “Mereka menjawab : “Tidak, demi Allah mereka tidak melihatMu”. Beliau bersabda : “Tuhan berfirman : “Bagaimana seandainya mereka melihatKu?”. Beliau bersabda : “Mereka menjawab: “Seandainya mereka melihatMu, niscaya mereka lebih beribadah kepadaMu, lebih memuliakan, lebih memuji dan lebih mensucikanMu”. Beliau bersabda : Tuhan berfirman : “Apakah yang mereka pinta kepadaKu?”. Beliau bersabda : “Mereka meminta surga kepada Mu”. Beliau bersabda : “Mereka menjawab : “Apakah mereka melihatnya?” Beliau bersabda : Malaikat menjawab : “Tidak, demi Allah mereka tidak melihatnya”. Tuhan berfirman : “Bagaimanakah seandainya mereka melihatnya ?”. Beliau bersabda : “Mereka menjawab : “Seandainya mereka melihatnya, niscaya mereka lebih loba terhadapnya, lebih meminta dan lebih gemar terhadapnya”. Tuhan berfirman : “Terhadap apa mereka berlindung ?”. Beliau bersabda : Malaikat menjawab : “Dari neraka”. Beliau bersabda : Tuhan berfirman: “Apakah mereka melihatnya ?”. Beliau bersabda : “Mereka menjawab : “Tidak, demi Allah wahai Tuhan, mereka tidak melihatnya”. Beliau bersabda : Tuhan berfirman : “Bagaimanakah seandainya mereka melihatnya ?”. Beliau bersabda” : Mereka menjawab : “Seandainya mereka melihatnya, niscaya mereka lebih sangat lari dan sangat takut”. Beliau bersabda : “Tuhan berfirman : “Aku persaksikan kepadamu bahwa Aku telah mengampuni mereka”. Beliau bersabda : “Salah satu malaikat berkata: “Diantara mereka ada Fulan yang bukan dari golongan mereka. Kedatanganya hanya karena ada keperluan”. Tuhan berfirman : “Mereka teman-teman duduk, dimana orang yang duduk bersama mereka tidak celaka”. (HR. Bukhari)

 

 

Artinya :

Dari Abu Hurairah ra. dan Abu Said Al Khudri ra. berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat yang berkelana di bumi sebagai tambahan dari para pencatat manusia. Apabila mereka menjumpai kaum yang berdzikir kepada Allah, mereka memanggil-manggil : “Marilah kepada tujuanmu”.

Malaikat berdatangan, dan mengitari mereka kelangit dunia. Allah berfirman : “Kalian tinggalkan hamba-hamba Ku sedang mengerjakan apa ?”. Mereka menjawab : “Kami tinggalkan mereka sedang memujiMu, memuliakan Mu dan berdzikir kepadaMu”. Beliau menjawab : Dia berfirman ” “Apakah mereka melihat Aku ?”. Mereka menjawab : “Tidak”. Dia berfirman : “Bagaimanakah seandainya mereka melihat Aku ?”. Beliau bersabda : Mereka menjawab : “Seandainya mereka melihat Mu niscaya mereka lebih memujiMu, lebih memuliakan Mu dan lebih berdzikir kepadaMu”.

Beliau bersabda : Dia berfirman : “Apakah yang mereka inginkan ?” Beliau bersabda : “Mereka berkata : “Mereka memohon surga”. Beliau bersabda: “Dia berfirman : “Apakah mereka melihatnya ?”. Beliau bersabda : “Dia berfirman : “Bagaimanakah seandainya mereka melihatnya ?”.

Beliau bersabda : “Mereka menjawab : “Seandainya mereka melihatnva niscaya mereka lebih meminta dan loba atasnya”. Beliau bersabda : “Dari apakah mereka berlindung ?” Mereka menjawab : “Seandainya mereka melihatnya niscaya mereka lebih lari, lebih takut dan lebih mohon perlindungan dari padanya”. Beliau bersabda : Dia berfirman : “Sungguh Aku mempersaksikan kepadamu bahwa Aku mengampuni mereka”. Mereka menjawab : “Sesungguhnya di kalangan mereka terhadap Fulan yang salah yang datang hanya karena keperluan”. Dia berfirman : “Mereka adalah kaum yang teman duduknya tidak celaka”. (HR. Tirmidzi).
 

 

Artinya :

Dari Abu Ishaq dari Al Agharr Abu Muslim bahwasanya ia menyaksikan Abu Hurairah dan Abu Said Al Khudri ra., bahwasanya kedua orang itu menyaksikan Rasulullah bersabda : “Apabila hamba mengucapkan :

‘LAA ILAAHA ILLALLAAH WALLAHU AKBAR “ (Tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Besar).

Beliau bersabda : Allah yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : “Benarlah hambaKu, tidak ada Tuhan selain Aku, dan Akulah Allah Maha Besar”.

Apabila hamba mengucapkan :

‘LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAH” (Tiada Tuhan selain Allah sendiri).

Dia berfirman : “Benarlah hambaKu, tiada Tuhan selain Aku sendiri”.

Apabila hamba mengucapkan :

‘LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHU LAA SYA­RIIKA LAH “ (Tiada Tuhan selain Allah, sendirian tiada sekutu bagiNya).

Dia berfirman : “Benarlah hamba-Ku, tiada Tuhan selain Aku, dan tidak ada sekutu bagiKu”.

Apabila hamba mengucapkan :

‘LAA ILAAHA ILLALLAAHLAHUL MULKU WALA­HUL HAMDU”

(Tiada Tuhan selain Allah, bagiNya kerajaan itu, dan bagiNya segala puji).

Dia berfirman : Benarlah hambaKu, tiada Tuhan selain Aku, bagiKu kerajaan itu dan bagiKu segala puji”. Apabila hamba mengucapkan :

‘LAA ILAAHA ILLALLAAH WALAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAH”

(Tiada Tuhan selain Allah, dan tiada daya dan kekuatan melainkan pertolongan Allah)

Dia berfirman : “Tiada Tuhan selain Aku, dan tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Ku”.

Abu Ishaq berkata : Kemudian Al Agharr mengatakan sesuatu yang tidak saya pahami. Ia Berkata : Lalu saya bertanya kepada Abu Ja’far : “Apakah yang ia ucapkan ?”. Ia berkata : “Barang siapa yang pada waktu menjelang mati mengucapkan kalimat-kalimat itu maka ia tidak tersentuh neraka”. (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).

 

 

 

 

Artinya :

Dari Abdullah bin Umar ra., bahwasanya Rasulullah saw bercerita kepada mereka bahwa salah seorang hamba Allah mengucapkan :

“YAA RABBI LAKAL HAMD U YANBAGHII LIJALAA­LI WAJHIKA WALI ‘AZHIIMI SULTHAANIKlA” (Wahai Tuhanku, hanya bagimulah segala puji, sebagaimana seyogya dengan kebesaran DzatMu dan keagungan kekuasaanMu ), maka bersungguh-sungguhlah dua malaikat namun mereka tidak tahu bagaimana mencatatnya. Lalu keduanya naik ke langit dan berkata : “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya hambaMu mengucapkan dzikir, kami tidak mengetahui bagaimana mencatatnya. Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman pada hal Dia lebih mengetahui terhadap apa yang dikatakan oleh hambaNya : “Apakah yang diucapkan hambaKu ?”. Keduanya menjawab : “Bahwasanya ia mengucapkan : “Wahai Tuhanku, hanya bagiMu segala puji sebagaimana seyogya dengan kebesaran Dzat Mu dan keagungan kekuasaan Mu”. Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : “Tulislah seperti apa yang diucapkan oleh hamba-Ku, sehingga ia menjumpai Aku, lalu Aku membalasnya dengan apa yang diucapkan itu”. (Hadits ditakhrij oleh An Nasa’i).
 

 

 

 

Artinya :

Dari Aisyah ra., ia berkata : Rasulullah saw memperbanyak ucapan:

“SUBHAANALLAAHI WABIHAMDIHI ASTAGH­FIRULLAAHA WA ATUUBU ILAIH”

(Maha Suci Allah, dengan pujiNya saya memohon ampun kepada Allah dan saya bertaubat kepada-Nya).

Saya bertanya : “Wahai Rasulullah, saya melihat engkau memperbanyak ucapan : “Maha Suci Allah dengan pujiNya saya memohon ampun kepada Allah dan saya bertaubat kepadaNya”. Beliau bersabda: “Tuhanku Yang Maha Mulia dan Maha Besar memberitakan kepadaku bahwa aku akan melihat tanda pada umatku. Apabila aku telah melihatnya maka aku memperbanyak ucapan :

“SUBHAANALLAAHI WABIHAMDIHI ASTAGH­FIRULLAAHA WA ATUUBU ILAIH”

Saya telah melihatnya :

“IDZAA JAA-A NASHRULLAAHI WALFATHU WARA-AITANNAASA YADKHULUUNA FII DIINI­LLAAHI AFWAAJAN FASABBIHBIHAMDI RABBIKA WASTAGHFIRHU INNAHU KAANA TAWWAABA”

(Apabila datang pertolongan Allah dan penaklukan (Kota Mekah). Dan kamu melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbilah dengan memuji Tuhanmu dan memohon ampunlah kepadaNya karena sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat). Dalam riwayat Muslim dari Aisyah ada tambahan :

‘ALLAAHUMMAGHFIR LII YATA-AWWALUL QUR­AANA “

(Wahai Allah ampunilah saya, karena mengamalkan perintah Al Qur’an). (HR. Muslim).

 

 

 

 

Artinya :

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra., ia berkata : Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah akan membersihkan salah seorang umatku atas para kepala makhluk pada hari qiyamat. Lalu Allah menebarkan sembilan puluh sembilan catatannya. Setiap’ catatan seperti pandangan mata. Kemudian Dia berfirman : “Apakah kamu mengingkari hal ini barang sedikit ?”. Apakah tukang catatKu Malaikat Hafazhah menganiaya kamu ?”. Ia menjawab : “Tidak wahai Tuhan”. Dia berfirman : “Apakah kamu punya alasan ?” Ia menjawab : “Tidak”. Dia berfirman : “Baiklah, kamu mempunyai kebaikan. Sesungguhnya pada hari ini tidak ada penganiayaan atasmu”. Maka dikeluarkan secarik kertas yang didalamnya terdapat :

‘ASYHADUALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHA­DUANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WARA­SUUL UH”

(Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan saya bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusanNya).

Dia berfirman : “Datangkan timbanganmu”. Ia menjawab : “Wahai Tuhanku, apakah (artinya) secarik kertas ini dibandingkan dengan catatan-catatan ini ?”. Dia berfirman : “Sungguh kamu tidak dizhalimi”. Beliau bersabda : “Catatan-catatan itu diletakkan pada sebuah piringan neraca dan secarik kertas itu di dalam piringan neraca. Secarik kertas itu berat, karena tidak ada sesuatu yang mempunyai timbangan berat dibandingkan dengan sesuatu yang bersama nama Allah”. (Hadits ditakhrij oleh Tirmidzi).

 

 

 

 

Artinya :

Dari Anas bin Malik ra., ia berkata : Rasulullah saw. .       . bersabda : “Dua malaikat Hafazhah menghadapkan kepada Allah akan apa yang ia jaga baik siang maupun malam, di mana Allah mendapatkan baik pada awal dan akhir halaman itu, kecuali Allah berfirman : “Sesungguh Aku meinpersaksikan kepadamu bahwa Aku mengampuni ” hambaKu yang tercatat di antara dua ujung halaman (catatan) ini”. (Hadits ditakhrij oleh Tirmidzi).

 

 


Artinya :

Dari Anas ra dari Nabi saw., beliau bersabda : Allah berfirman : “Keluarkanlah dari neraka orang yang ingat kepadaKu pada suatu hari atau takut kepadaKu pada suatu tempat”. (Hadits ditakhrij oleh Tirmidzi).

 

 

 

 

Artinya :

Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw, beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah berfirman : “Wahai anak Adam (manusia) luangkanlah waktu untuk ibadah kepadaKu maka Aku isi dadamu dengan kekayaan, dan Aku tutup kekafiranmu. Jika tidak demikian maka Aku isikan kesibukan di mukamu dan Aku tidak menutup kefakiranmu”. (Hadits ditakhrij oleh At Tirmidzi)

 

 

 

 

Artinya :

Dari Uqbah bin Amir ra., ia berkata : Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda : “Tuhanmu kagum. terhadap penggembala kambing di ujung bukit yang di kala didengungkan adzan ia mendirikan Shalat”. Lalu Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : “Lihatlah hambaKu ini, didengungkan adzan kemudian ia shalat karena takut terhadapKu, Aku telah mengampuni hambaKu dan memasukkannya ke Sorga”. (Hadits di takhrij oleh An Nasa’i).

 

 

 

 

Artinya :

Dari Iyadh bin Khammar saudara Bani mujasyi’, ia berkata : Rasulullah saw. pada suatu hari berdiri di tempat kami dengan berkhuthbah, lalu beliau bersabda : “Sesungguhnya Tuhanku menyuruh aku dan meneruskan hadits itu seperti hadits Hisyam dari Qatadah dan ia menambahNya :

 

“WA ANNALLAAHA AUHA ILAYYA AN TAWAADLA ‘UU HATTAA LAA YAFKHARA AHADUN ‘ALAA AHADIN WALAA YABGHII AHADUN ‘LAA AHADIN”

 

(Sesungguhnya Allah memberi wahyu kepadaku agar kamu merendahkan diri, sehingga seseorang tidak berbangga terhadap orang lain, dan seseorang tidak menganiaya terhadap orang lain).

 

Dan menurut haditsnya beliau saw bersabda :

 

“WAHUM FIIKUM TABA’AN LAA YABGHUUNA AHLAN WALAA MAALAN” (Mereka sebagai pengikutmu, dengan tidak mencari keluarga dan harta).

 

Lalu aku bertanya : “Kedaannya demikian itu wahai Abu Abdillah?” Ia menjawab : “Ya, demi Allah aku telah menjumpai mereka pada masa Jahiliyah, dan seseorang laki­laki menggembala di kampung, yang ada hanya ibunya dimana ia mensetubuhinya”. (HR. Muslim).

 

Dialog dengan Allah di Malam Hari

1.A. FADHAIL QIYAMULLAIL

Waktu yang terbaik untuk bermunajat kepada Allah adalah dikala malam telah larut. Ketika manusia dan makhluk lainnya terlelap dalam tidurnya. Kehidupan mulai lenggang. Di saat itu, bangunlah dan hadirkan hatimu dalam mengingat Allah. Resapilah kelemahanmu, dan hadirkan kebesaran-Nya. Nikmatilah kedamaian dan ketenangan – ketika engkau mengingat-Nya. Engkau jadi gembira, karena nikmat dan rahmat-Nya. Tapi, engkaupun menangis, karena takut akan pengawasan-Nya. Engkau curahkan segala hajat dan beristighfar keharibaan-Nya, maka jadilah apa yang dikehendaki. Curahkanlah segala permohonanmu, baik duniawi maupun ukhrawi, hanya kepada-Nya.

Telah banyak ayat dan hadis yang menerangkan keutamaan waktu malam, dan mengisinya dengan ibadah. Para hamba Allah yang saleh pun selalu menganjurkan agar kita memanfaatkan waktu itu, untuk berpacu dalam amal saleh.

Para hamba Allah yang saleh, umumnya, tidak lagi merasakan capai akibat bangun dan salat malam itu. Bahkan mereka justru merasa puas dibuatnya.

Kaum salaf yang saleh, selalu berpendapat bahwa kenikmatan yang menyerupai kenikmatan di akherat, yakni beribadah yang dilakukan di malam hari.

Dalam kitab al-Madkhal, Ibnul Haaj, merinci tentang manfaat dan faedah beribadah di malam hari, Antara lain, dapat menggugurkan dosa sebagaimana angin kencang menggugurkan daun-daun kering dari dahan pohon. Juga “dapat menyinari hati wajah selalu terlihat cerah ceria, menghilangkan rasa malas dan menumbuhkan kemauan keras.” Pada tempat-tempat orang beribadah di malam hari itu, terlihat oleh para Malaikat di langit, bagaikan bintang-bintang yang penuh cahaya.

Ada beberapa hal yang dapat membantu untuk gemar dan mudah bangun malam. Antara lain, ikhlaskan niat, pusatkan perhatian, perbaharui taubat, jauhi segala bentuk maksiat disiang hari dan tidur malam sedini mungkin. Lalu, mohonlah bantuan dan karunia dari Allah. Dan, berusaha keras mendekatkan diri pada Allah, pasti Allah akan membantunya.

A. Bangun Di Waktu Malam Menurut Al-Qur’an

“Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca Ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (shalat)” (QS. Ali ‘Imran 3:113)

“(Yaitu) orang-orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, sesung-guhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka”, (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menaf-kahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali ‘Imran 3:16-17)

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu Mengangkat kamu ke Tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’ 17:78-79)

“Dan Hamba-hama Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan 25:63-64)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan Ayat-ayat Kami, adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan Ayat-ayat (Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhan-nya, sedang mereka tidak menyombongkan diri. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya sedang mereka berdoa kepada Tuhan-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari Rezeki yang Kami Berikan kepada mereka. Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (QS. As-Sajdah 32:15-17)

“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan Rahmat Tuhan-nya? “ (QS. Az Zumar 39:9)

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang Diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)”.(QS. Adz Dzariyat 51:15-17)

B. Bangun Di Waktu Malam Menurut Hadis

“Pada setiap malam – di sepertiga terakhir pada bagian malam – Allah turun ke langit dunia, dan berseru, “Siapa yang memanggil-Ku, maka Aku pun akan menyambutnya. Siapa yang memohon kepada-Ku, Aku pun mengabulkannya. Dan siapa yang memohon ampun, maka Aku pun mengampuninya.” Ucap Rasulullah saw. yang dituturkan kembali oleh Abu Hurairah ra. (HR Bukhari, Malik, Muslim dan Tirmidzi)

Menurut Abu Umamah, Rasulullah saw. suatu kali pernah ditanya seseorang tentang do’a yang mudah dikabulkan oleh Allah. “Do’a yang paling mudah dikabulkan ialah do’a yang dipanjatkan di tengah malam – yang terakhir – dan disetiap usai shalat wajib!” jawabnya. “Hadis ini hasan sahih, “ucap Tirmidzi – perawi Hadis ini.

Hendaklah kalian rajin bangun malam (bertahajud). Sebab hal itu telah menjadi kebiasaan para orang saleh sebelummu. Dan yang menyebabkan kau dekat dengan-Nya. Juga dihapuskannya dosa-dosa kalian, sekaligus penangkal segala penyakit yang berasal dari tubuh.” Sabda Rasulullah saw. yang ditiru kembali oleh Bilal ra. (HR. Tirmidzi)

“Rasulullah saw. tidak pernah meninggalkan shalat malam. Apabila beliau sedang sakit atau lelah, maka shalatnya dilakukan dengan duduk,” ucap Aisyah ra. (HR. Abu Daud)

Pernah diceritakan seorang sahabat pada Rasulullah saw., bahwa ada seseorang yang sepanjang malam tertidur pulas, dan tidak bangun untuk shalat. “Telinga orang itu telah dikencingi oleh setan.” Ucap Rasulullah saw. memberikan tanggapan. (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i)

“Sebaik-baiknya shalat setelah fardhu, adalah shalat malam (Tahajud).” Kata Abu Hurairah ra. (HR. Muslim)

Diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amru bin Ash ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Barangsiapa shalat malam dengan membaca sepuluh ayat Al-Qur’an, maka tidaklah ia akan dicatat sebagai orang-orang yang lupa. Barangsiapa yang shalat malam dengan membaca seratus ayat Al-Qur’an, maka dia dicatat sebagai kaum Qaanitiin (patuh) – mereka yang gemar beribadah. Barangsiapa yang shalat malam dengan membaca seribu ayar Al-Qur’an, maka ia dicatat sebagai kamu Muqanthiriin – orang kaya yang gemar mensedekahkan hartanya (HR. Abu Daud). Menurut Abdullah bin Hubaisy Rasulullah saw. pernah ditanya, “Amalan apakah yang paling afdhol?” “Seafdhol-afdholnya amalan adalah berdiri panjang dalam shalat malam!” jawabnya.

Diriwayatkan oleh Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. shalat malam sebanyak sepuluh rakaat, ditambah satu rakaat shalat witir dan dua rakaat shalat sunnah al-Fajri. Semuanya tiga belas rakaat. (Hadis ini dikeluarkan oleh enam imam hadis, sedangkanlafadhnya diambil dari Muslim)Gambar

Meraih Khusyu’ dalam Beribadah kepada Allâh Ta’âla

Kedudukan khusyû’ dalam ibadah, seperti ruh (jiwa) dalam tubuh manusia,[1] sehingga ibadah yang dilakukan tanpa khusyû’ adalah ibarat tubuh tanpa ruh alias mati. Oleh karena itu, Allâh Ta’âla memuji para Nabi dan Rasul dengan sifat mulia ini. Mereka adalah hamba-hamba-Nya yang memiliki keimanan sempurna dan selalu bersegera dalam kebaikan.

Allâh Ta’âla berfirman :

 

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdo’a kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah). (QS. al-Anbiyâ`/21:90)

Dalam ayat lain, Dia Ta’âla memuji hamba-hamba-Nya yang shalih dengan sifat-sifat mulia yang ada pada mereka, di antaranya sifat khusyû’:

 

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, lakilaki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allâh, Allâh telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS al-Ahzâb/33:35)

Bahkan Allâh Ta’âla menjadikan sifat agung ini termasuk ciri utama orang-orang yang sempurna imannya dan sebab keberuntungan mereka,[2] dalam firman-Nya:

 

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. (QS al-Mu’minûn/23:1-2)

Oleh karena itu, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allâh Ta’âla sifat mulia ini dalam doa beliau:

اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِينًا وَأَمِتْنِي مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Ya Allâh, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, kumpulkanlah aku di dalam golongan orang-orang miskin pada hari Kiamat”.[3]

Arti orang miskin dalam hadits ini adalah orang yang selalu merendahkan diri, tunduk dan khusyû’ kepada Allâh Ta’âla.[4]

Bagaimana Pemanfaatan Internet Menurut Pandangan Islam

Gambar

Suatu ketika selepas Ashar di Masjid Al Hikam. Di salah satu pojok masjid tersebut terdapat Ranid dengan dua orang temannya yakni Ahmad dan Ilmi yang terlihat sedang mendiskusikan sesuatu. Kali ini tema yang diangkat seputar masalah I’jazul Quran (Mukjizat Al Quran). Diskusi yang berjalan cukup santai namun sarat akan ilmu.

 Ahmad adalah seorang mahasiswa salah satu PTS di Jakarta dengan program studi Matematika. Seorang calon pengabdi masyarakat dengan ilmunya. Ahmad selalu berupaya mengaitkan Al-Qur’an dengan bidang studinya matematika. Ahmad sering berkutat dengan angka-angka dalam Al-Qur’an.

 Ahmad pun memulai diskusi. “Subhanallah alquran itu bener-bener mukjizat. Saya pernah baca di Internet bahwa ternyata kata Yaum (hari) di dalam alquran sebanyak 365 kata sama seperti jumlah hari dalam satu tahun, kata syahr (bulan) disebutin 12 kali sama kayak jumlah bulan dalam satu tahun, sab’u (minggu) disebutin 7 kali sama dengan jumlah hari per minggu. Belum lagi kata-kata yang berlawan kata. Misalnya ad dunya 115 kali, al akhiroh juga 115 kali. Malaikat 88 kali sedangkan asy syayathin 88 kali juga. Al hayat 145 kali begitupun dengan Al Maut yang juga 145 kali. Belum lagi angka 19 yang disebutin dalam alquran surat Al Mudatsir ayat 30. Sebetulnya masih banyak tapi mending antum liat di internet aja nafsi-nafsi, tinggal tanya mbah google ketik key word nya keajaiban angka dalam alquran,” Celoteh Ahmad sekaligus mengakhiri presentasinya.

 Tiba giliran Ranid memaparkan pengetahuannya seputar masalah mukjizat Quran. Ranid memang sangat menyenangi diskusi-diskusi tentang kajian Islam berhubung program studi Ranid adalah bahasa Arab yang ia geluti di salah satu Ma’had Lughoh di Jakarta. Maka ia akan memaparkan sepengetahuannya tentang I’jazul Quran dari sudut pandang bahasa.

 Setelah mengucapkan basmalah seraya memuji Allah dengan hamdalah, serta sholawat kepada Nabi SAW. Ranid pun mulai berkata “Mumtaz! ustadz Ahmad mantep dah penjelasannya, giliran ane ya? Gini jadi mukjizat kalo diliat dari segi bahasa maka secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘senjata’ untuk melemahkan terhadap tantangan dakwah yang ada. Contoh di zaman nabi Musa AS berhubung waktu itu sihir sedang ngetrend-ngetrendnya maka Allah kasih mukjizat nabi Musa AS ‘menyerupai’ sihir, tapi bukan sihir, dengan tongkatnya yang terkenal. Bisa berubah jadi ular, ngebelah lautan, dsb. Trus di zaman nabi Isa AS berhubung waktu itu ilmu kedokteran lagi maju-majunya maka Allah kasih kepada nabi Isa AS mukjizat yang berhubungan dengan dunia pengobatan. Nah, di zaman Rasul SAW pada masa itu kaum jahiliyyah terkenal akan syairnya yang luar biasa Indahnya. Maka Allah pun memberikan kepada Nabi SAW berupa alquran sebuah mukjizat yang begitu sangat tinggi dan sarat akan nilai sastranya.”

 Ranid masih melanjutkan pemaparannya “bahkan Allah nantangin mereka kaum kafir untuk buat satu surat saja yang semisal dengan alquran. Coba ente berdua buka Al-Baqoroh ayat 23

‘dan jika kamu meragukan Al-Quran yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) maka buatlah satu surat semisalnya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang yang benar,’

dan dilanjutan ayatnya, bahwa Allah sudah kasih garansi, mereka pasti gak akan mampu ngebuatnya.

 Pernah ada kisah tentang Musailamah Al-Kadzdzab yang coba-coba buat alquran tandingan. Salah satu suratnya niru-niru al-fiil. Dan surat gadungan itu ditertawakan banyak orang karena diliat dari sisi bahasa dan maknanya betul-betul jelek. Dan satu hal lagi cuma alquran kitab suci yang bisa dihafal oleh jutaan manusia walaupun manusianya itu sendiri pun tidak mengetahui arti alquran. Bahkan uniknya juga, hafalannya tersebut lengkap sampai titik dan komanya. Subhanallah maha benar Allah dalam firmanNya ‘dan sungguh Kami mudahkan Al-Quran untuk peringatan’ Al-Qomar ayat 17,” Ranid pun mengakhiri makalah yang dibawakannya.

 Selanjutnya giliran Ilmi yang mendapat giliran menjelaskan mukjizat quran berdasarkan studi yang ia geluti. Ilmi adalah seorang mahasiswa IT di salah satu PTS di Jakarta. Berbeda dengan kedua orang sahabatnya tadi, Ikhwan lajang ini tengah mengerjakan tugas akhir dalam perkuliahannya. Hal ini dikarenakan Ilmi terlebih dahulu kuliah selepas SMA daripada Ahmad dan Ranid yang sempat menunda jenjang akademisnya.

 Lengkap dengan stelan kacamata khas para hacker di film Hollywood, Ilmi pun memulai pembicaraannya. “sebenernya ane belum mau mengatakan ini mukjizat atau gak? terus terang ane gak berani. Tapi salah satu point yang pernah ane dengar dalam seminar Qur’an bahwa kenapa Qur’an disebut mukjizat tak lain dan tak bukan adalah karena kebenarannya dalam ‘meramal’ masa depan. Betul gak Ran?” Ilmi bertanya pada Ranid. Ranid pun mengiyakan pernyataan Ilmi dengan mengaggukan kepala, seolah tak mau kehilangan pemaparan dari Ilmi sahabatnya.

 Ilmi melanjutkan “surat al-lahab contohnya, di situ Allah memastikan bahwa Abu Lahab bakalan tetep kafir dan masuk neraka. Dan ketika surat itu turun di Mekkah, Abu Lahab ternyata masih hidup. Sekarang coba antum bayangin kalo seandainya Abu Lahab itu tergerak hatinya untuk masuk Islam atau pun pura-pura masuk Islam maka Al-Quran akan dipertanyakan kebenarannya dari dulu sampai sekarang. Ataupun di surat Ar-Rum di situ dijelaskan bahwa Romawi bakalan menang melawan Persia. Dan itu subhanallah terjadi beberpa tahun kemudian. Setelah pada peperangan yang sebelumnya Romawi kalah maka pada peperangan selanjutnya Romawi menang telak.

 Dan satu lagi peristiwa fathul Mekkah di surat Al-Fath. Allah memastikan kaum Muslimin akan memasuki Mekkah setelah sekian lama hijrah ke Madinah. Dan subhanallah hal itu terbukti.”

 Fenomena Al-Fisbukiyyah dalam Al-Qur’an

 “Ah itu mah dari aspek sejarah Mi, coba dari aspek IT sesuai sama studi ente?” Tanya Ranid seolah menantang Ilmi. “Weitss, tenang-tenang ane kan belum selesai jelasinnya, ana lanjut ya!” Jawab Ilmi. “Nah berhubung tadi ane bilang ana gak berani nyebut ini mukjizat atau nggak, maka ane akan bilang ini kehebatan Quran.” Ilmi masih melanjutkan, sementara kedua rekannya Ahmad dan Ranid masih terus diam dan menyimak kata per kata yang akan terlontar dari mulut Ilmi. “ente berdua tau gak, bahwa sejak 1400 tahun yang lalu alquran sudah menyinggung tentang Facebook dan kawan-kawannya?!” Ahmad sang Cagur (Calon Guru) tertegun diiringi dengan tertawa kecil seolah tak percaya statmen Ilmi. Lain lagi dengan Ranid yang masih berpikir dan mencari-cari bahwa apakah benar kata Facebook ada di dalam alquran. Dengan mencoba mentashrif pola-pola fi’il.

 Ilmi meneruskan kembali pemaparannya “Ahmad, coba ente berdua buka surat Al-Ma’arij ayat 19-21

 “‘Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan dia jadi kikir.’

 Ayat ini menjelaskan fenomena jama’ah “Al-Fisbukiyyah” secara umum. Coba ente-ente liat wirid-wirid mereka.

 Kebanyakan isinya keluh kesah. Temanya udah mirip sinetron mendayu-dayu sampai bikin air mata keluar. Sakit dari mulai bisul, cantengan, jerawat, sampai ayan di update di status. Cuaca juga gak ketinggalan. Dikasih hujan, ngeluh gak bisa kemana-mana. Dikasih panas ngeluh kepanasan. Segala maksiat juga disebarin di muka umum. Masalah duit abis, rezeki seret terus dan terus di suguhkan. Ibadah juga ada beberapa yang dipublikasikan puasa, sedekah, tapi alhamdulillah ane belum menemukan ada orang yang lagi sholat update status ‘lagi roka’at dua nih’ naudzubillah kalo sampai ada!” canda Ilmi.

 Ahmad dan Ranid pun tertawa dan mengaminkan ucapan Ilmi. “Terus di ayat setelahnya dikatakan ‘apabila dapat kebaikan maka ia kikir.’ Ane rasa betul ayat tersebut. Coba ente berdua hitung ada beberapa orang yang update status semisal alhamdulillah dapet rezeki, buat yang mau ditraktir harap tunggu di depan masjid. Kira-kira ada gak status kayak gitu. Giliran dapat rezeki yang melimpah pada pelit gak mau orang lain pada tau, tapi giliran ditimpa musibah di share kemana-mana.”

 “Ah, lo iri aja kali jangan sok jaim deh?!” Kali ini Ahmad yang bertanya kepada Ilmi. Ilmi pun menjawab “ane rasa jaim itu perlu, dalam konteks JAIM, Jaga-Iman berkaitan dengan hal malu, ane tidak mengharamkan update status, akan tetapi alangkah baiknya update-nya itu yang baik-baik pokoknya temanya mengajak kebaikan dari quran, hadits, sahabat, ataupun salafush sholih. Inget akh dalam hadits riwayat Bukhori dikatakan Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu. Ulama bilang bahwa jika kita udah gak malu sama Allah dan tidak merasa diawasinya maka tunaikan saja hawa nafsumu dan lakukan apa yang kau inginkan.” Jawab Ilmi.

 Ranid tak menyangka sahabatnya Ilmi dapat menarik dan mengaitkan surat Al-Ma’arij ayat 20-22 dengan fenomena Facebookers yang bergentayangan di dunia maya. Alhamdulillah bertambah satu lagi pengetahuan Ranid pada hari itu. Sungguh Ranid sejatinya sudah sering membaca atau bahkan menghafalkan surat ini. Namun dikarenakan kurang men-tadabbur-i ayat ini maka alangkah kagetnya ia mendengarkan penjelasan yang dipaparkan oleh sahabatnya Ilmi.

Bagaimana Pemanfaatan Internet Menurut Pandangan Islam

Dewasa ini semakin banyak orang yang beranggapan bahwa Internet itu adalah buatan dari kaum kafir, kaum yahudi bahkan ada juga yang beranggapan bahwa seluruh orang yang menggunakan Internet adalah kafirun, orang yang menghabiskan waktu kosongnya hanya untuk kesenangan semata.
Pada Artikel sebelumnya, kalian dapat memetik banyak kegunaan dari perangkat dunia ini dan mendorong agar kalian dapat menjelajahi seluruh dunia.Bukankah Allah menegaskan agar umatnya untuk memperkuat serta mempererat tali silaturahmi dan menuntut Ilmu. Apakah Internet Tidak dapat digunakan sebagai alat untuk memperkuat silaturahmi kita? Mengapa banyak pendapat tentang perangkat dunia ini sedemikian rupa? Apa yang menyebabkan mereka tidak tahu ada pengetahuan yang banyak dari Internet? Dimana ia mendapatkan informasi sehingga mengklaim Internet itu buatan kafirun?

Kurangnya Pengetahuan tentang kegunaan Internet
Memang kurang bukan, dari sekian banyak juta rakyat Indonesia.Sedikitnya hanya sebagian yang menggunakan Internet itupun hanya menggunakan, bukan mengetahui ada banyak manfaat dari Internet.Tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi agar istilah mempererat tali silaturahmi anak-anak dapat diizinkan masuk ke dunia Internetan dengan kurangnya pengawasan akibat klaim orang tua bahwa Internet hanya alat silaturahmi.Tapi kita hargai karena internet memang alat silaturahmi tapi jangan ragukan kalau orang tua pasti ada yang kebingunan.
Nah, Inilah yang membuat orang tua kebingunan.Mengapa demikian ? Sebabnya hanyalah kurangnya pengetahuan.Sebelum memasukkan anaknya ke dunia Internet dengan membelikan modem segalanya. Orang tua menganggap bahwa dengan Internet anaknya sudah bisa dapat kawan baru,tapi mereka tidak memikirkan bahwa masih ada kegunaan Internet mereka hanya menggunakan satu nada,kata Mario Teguh Johny Satu nada.
Cukup kita tutup dulu jawaban dari sekian pertanyaan diatas, kita munculkan dampak yang ditimbulkan dari Internet, positive dan negativelah yang mempengaruhi calon pengguna Internet dizaman sekarang.Saat mereka bertemu dengan dampak negative mereka tutup usia menggunakan Internet tapi ketika menemui dampak positive mereka kurang memperhatikan dampak negativenya.
Internet manakah yang memunculkan kedua dampak ini,
Inilah yang perlu diluruskan bagi pengguna Internet, siapa bilang Internet memiliki dampak positive maupun negative.Yang bilang ada negative dan postivenya itu hanya si pengguna Internet.Coba kita luruskan dan kita samakan Internet dengan sebuah nuklir, nuklir merupakan alat pembangkit listrik namun jika disalahgunakan nuklir dapat dijadikan sebagai pembunuh besar.Nah, dari penggunaannyalah Internet bisa dikatakan sebagai berdampak baik dan berdampak buruk, tapi jangan diklaim seluruh pengguna Internet dapat menjadikan Internet berdampak buruk, masih banyak pengguna yang menjadikan Internet sebagai manfaat yang bisa kita lihat ini.

Membentuk sumber pengetahuan
bagilah ilmu pengetahuan itu dengan sahabatmu Pernahkah kalian mendengarkan kalimat ini. Itulah salah satu manfaat Internet yang menjadikan Internet berdampak Positve. Contoh kasusnya adalah dengan membentuk sebuah blog, dengan blog ini kalian dapat berbagi catatan tentang kehidupan bahkan mengajarkan agama kalian.
Nah, Muncul lagi dampak yang mencemari nama baik Internet yakni ngeblog kurang sehat. Sudah banyak catatan yang mirip sekali dengan catatan yang lain.Inilah yang kadang menimbulkan kontroversi dizaman ini.Karya orang lain dianggap karya sendiri, karya milik kita dianggap sebagai karya orang lain.Marilah kita menggunakan rasa sopan dan keadilan,bukankah Allah menugaskan kita di bumi ini agar bersikap jujur dan tidak mengambil punya orang lain.

Mencari Pengetahuan dengan ensklopedia dan referensi
Pernahkah kalian ditugaskan oleh guru kalian mencari referensi tentang materi kalian sekarang ini, bukankah kalian biasanya menggunakan google dan mengklik situs Wikipedia.org tapi tidak menganggap itu adalah Internet.Pikiran anda terus mengalir ke Internet adalah Facebook,dan melupakan kegunaan internet sebagai sarana pengetahuan.
Terdapat lagi hadist yang mendukung sarana Internet ini, Menuntut ilmu adalah wajib bagi kaum muslim.Memang banyak ensklopedia dan buku sebagai referensi didunia ini, tanpa menggunakan Internet kalian sudah dapat menemukannya.Tapi tidak sadarkah kalian itu memakan banyak biaya,bukankah kalian dapat menabung uang itu untuk menyumbangkan ke masyarakat kurang mampu dan menggunakan Internet sebagai penggantinya.

IMAN MENURUT HADITH BUKHARI

Hadith Bukhari

 
   
   

 

   

 

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى قَالَ أَخْبَرَنَا حَنْظَلَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

 

2.1/7. Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Musa dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Hanzhalah bin Abu Sufyan dari ‘Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadlan.


 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجُعْفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

 

 

2.2/8. Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al Ju’fi dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amir Al ‘Aqadi yang berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman.

 

 

حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا دَاوُدُ هُوَ ابْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ دَاوُدَ عَنْ عَامِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

 

 

2.3/9. Telah menceritakan kepada kami Adam bin Abu Iyas berkata, Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abdullah bin Abu As Safar dan Isma’il bin Abu Khalid dari Asy Sya’bi dari Abdullah bin ‘Amru dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda: Seorang muslim adalah orang yang Kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Abu Abdullah berkata; dan Abu Mu’awiyyah berkata; Telah menceritakan kepada kami Daud, dia adalah anak Ibnu Hind, dari ‘Amir berkata; aku mendengar Abdullah, maksudnya ibnu ‘Amru, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Dan berkata Abdul A’laa dari Daud dari ‘Amir dari Abdullah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

 

 

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْقُرَشِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو بُرْدَةَ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْإِسْلَامِ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

 

 

2.4/10. Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al Qurasyi dia berkata, Telah menceritakan kepada kami bapakku berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Abu Burdah bin Abdullah bin Abu Burdah dari Abu Burdah dari Abu Musa berkata: ‘Wahai Rasulullah, Islam manakah yang paling utama? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Siapa yang Kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.

 

 

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

 

 

2.5/11. Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Khalid berkata, Telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yazid dari Abu Al Khair dari Abdullah bin ‘Amru; Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; Islam manakah yang paling baik? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Kamu memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal.

 

 

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

 

 

2.6/12. Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu’bah dari Qotadah dari Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Dan dari Husain Al Mu’alim berkata, telah menceritakan kepada kami Qotadah dari Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri.

 

 

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ

 

 

2.7/13. Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu’aib berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Az Zanad dari Al A’raj dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Maka demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya dan anaknya.

 

 

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

 

 

2.8/14. Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah dari Abdul ‘Aziz bin Shuhaib dari Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Dan telah menceritakan pula kepada kami Adam berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qotadah dari Anas berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan dari manusia seluruhnya.

 

 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

 

 

2.9/15. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi berkata, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman: Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka”

 

 

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَبْرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ

 

 

2.10/16. Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah mengabarkan kepadaku Abdullah bin Abdullah bin Jabar, berkata; aku mendengar Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Tanda iman adalah mencintai (kaum) Anshar dan tanda nifaq adalah membenci (kaum) Anshar.

 

 

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو إِدْرِيسَ عَائِذُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ شَهِدَ بَدْرًا وَهُوَ أَحَدُ النُّقَبَاءِ لَيْلَةَ الْعَقَبَةِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ وَلَا تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلَا تَعْصُوا فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِك

 

 

2.11/17. Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhri berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Idris ‘Aidzullah bin Abdullah, bahwa ‘Ubadah bin Ash Shamit adalah sahabat yang ikut perang Badar dan juga salah seorang yang ikut bersumpah pada malam Aqobah, dia berkata; bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika berada ditengah-tengah sebagian sahabat: Berbai’atlah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak membuat kebohongan yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak bermaksiat dalam perkara yang ma’ruf. Barangsiapa diantara kalian yang memenuhinya maka pahalanya ada pada Allah dan barangsiapa yang melanggar dari hal tersebut lalu Allah menghukumnya di dunia maka itu adalah kafarat baginya, dan barangsiapa yang melanggar dari hal-hal tersebut kemudian Allah menutupinya (tidak menghukumnya di dunia) maka urusannya kembali kepada Allah, jika Dia mau, dimaafkannya atau disiksanya. Maka kami membai’at Beliau untuk perkara-perkara tersebut.

 

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ

 

 

2.12/18. Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Sha’Sha’ah dari bapaknya dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Hampir saja terjadi (suatu zaman) harta seorang muslim yang paling baik adalah kambing yang digembalakannya di puncak gunung dan tempat-tempat terpencil, dia pergi menghindar dengan membawa agamanya disebabkan takut terkena fitnah.

 

 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَرَهُمْ أَمَرَهُمْ مِنْ الْأَعْمَالِ بِمَا يُطِيقُونَ قَالُوا إِنَّا لَسْنَا كَهَيْئَتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَيَغْضَبُ حَتَّى يُعْرَفَ الْغَضَبُ فِي وَجْهِهِ ثُمَّ يَقُولُ إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللَّهِ أَنَا

 

 

2.13/19. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam berkata, telah mengabarkan kepada kami ‘Abdah dari Hisyam dari bapaknya dari Aisyah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila memerintahkan kepada para sahabat, Beliau memerintahkan untuk melakukan amalan yang mampu mereka kerjakan, kemudian para sahabat berkata; Kami tidaklah seperti engkau, ya Rasulullah, karena engkau sudah diampuni dosa-dosa yang lalu dan yang akan datang. Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi marah yang dapat terlihat dari wajahnya, kemudian bersabda: Sesungguhnya yang paling taqwa dan paling mengerti tentang Allah diantara kalian adalah aku.

 

 

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَمَنْ أَحَبَّ عَبْدًا لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ يَكْرَهُ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ

 

 

2.14/20. Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qotadah dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Tiga (perkara) yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Dan siapa yang bila mencintai seseorang, dia tidak mencintai orang itu kecuali karena Allah ‘azza wajalla. Dan siapa yang benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka.

 

 

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَخْرِجُوا مِنْ النَّارِ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ فَيُخْرَجُونَ مِنْهَا قَدْ اسْوَدُّوا فَيُلْقَوْنَ فِي نَهَرِ الْحَيَا أَوْ الْحَيَاةِ شَكَّ مَالِكٌ فَيَنْبُتُونَ كَمَا تَنْبُتُ الْحِبَّةُ فِي جَانِبِ السَّيْلِ أَلَمْ تَرَ أَنَّهَا تَخْرُجُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً قَالَ وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا عَمْرٌو الْحَيَاةِ وَقَالَ خَرْدَلٍ مِنْ خَيْرٍ

 

 

2.15/21. Telah menceritakan kepada kami Isma’il berkata, telah menceritakan kepada kami Malik dari ‘Amru bin Yahya Al Mazani dari bapaknya dari Abu Sa’id Al Khudri dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Ahlu surga telah masuk ke surga dan Ahlu neraka telah masuk neraka. Lalu Allah Ta’ala berfirman: Keluarkan dari neraka siapa yang didalam hatinya ada iman sebesar biji sawi. Maka mereka keluar dari neraka dalam kondisi yang telah menghitam gosong kemudian dimasukkan kedalam sungai hidup atau kehidupan. -Malik ragu. – Lalu mereka tumbuh bersemi seperti tumbuhnya benih di tepi aliran sungai. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana dia keluar dengan warna kekuningan.Berkata Wuhaib Telah menceritakan kepada kami ‘Amru: Kehidupan. Dan berkata: Sedikit dari kebaikan.

 

 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُ النَّاسَ يُعْرَضُونَ عَلَيَّ وَعَلَيْهِمْ قُمُصٌ مِنْهَا مَا يَبْلُغُ الثُّدِيَّ وَمِنْهَا مَا دُونَ ذَلِكَ وَعُرِضَ عَلَيَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلَيْهِ قَمِيصٌ يَجُرُّهُ قَالُوا فَمَا أَوَّلْتَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الدِّينَ

 

 

2.16/22. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaidillah berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’d dari Shalih dari Ibnu Syihab dari Abu Umamah bin Sahal bin Hunaif bahwasanya dia mendengar Abu Said Al Khudri berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ketika aku tidur, aku bermimpi melihat orang-orang dihadapkan kepadaku. Mereka mengenakan baju, diantaranya ada yang sampai kepada buah dada dan ada yang kurang dari itu. Dan dihadapkan pula kepadaku Umar bin Al Khaththab dan dia mengenakan baju dan menyeretnya. Para sahabat bertanya: Apa maksudnya hal demikian menurut engkau, ya Rasulullah? Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Ad-Din (agama) .

 

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ

 

 

2.17/23. Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik bin Anas dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah dari bapaknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan melewati seorang sahabat Anshar yang saat itu sedang memberi pengarahan saudaranya tentang malu. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya malu adalah bagian dari iman.

 

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمُسْنَدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو رَوْحٍ الْحَرَمِيُّ بْنُ عُمَارَةَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ وَاقِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

 

 

2.18/24. Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al Musnadi dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Abu Rauh Al Harami bin Umarah berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Waqid bin Muhammad berkata; aku mendengar bapakku menceritakan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada ilah kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah”

 

 

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ

 

 

2.19/25. Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus dan Musa bin Isma’il keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’d berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab dari Sa’id bin Al Musayyab dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang Islam, manakah yang paling utama? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Lalu ditanya lagi: Lalu apa? Beliau menjawab: Al Jihad fi sabilillah (berperang di jalan Allah). Lalu ditanya lagi: Kemudian apa lagi? Jawab Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam: haji mabrur.

 

 

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عَامِرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى رَهْطًا وَسَعْدٌ جَالِسٌ فَتَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا هُوَ أَعْجَبُهُمْ إِلَيَّ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ عَنْ فُلَانٍ فَوَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَاهُ مُؤْمِنًا فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا فَسَكَتُّ قَلِيلًا ثُمَّ غَلَبَنِي مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِي فَقُلْتُ مَا لَكَ عَنْ فُلَانٍ فَوَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَاهُ مُؤْمِنًا فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا ثُمَّ غَلَبَنِي مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِي وَعَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ يَا سَعْدُ إِنِّي لَأُعْطِي الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللَّهُ فِي النَّارِ وَرَوَاهُ يُونُسُ وَصَالِحٌ وَمَعْمَرٌ وَابْنُ أَخِي الزُّهْرِيِّ عَنْ الزُّهْرِيِّ

 

 

2.20/26. Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhri berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Amir bin Sa’d bin Abu Waqash dari Sa’d, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan makanan kepada beberapa orang dan saat itu Sa’d sedang duduk. Tetapi Beliau tidak memberi makanan tersebut kepada seorang laki-laki, padahal orang tersebut yang paling berkesan bagiku diantara mereka yang ada, maka aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Wahai Rasulullah, bagaimana dengan si fulan? Sungguh aku melihat dia sebagai seorang mu’min. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membalas: atau dia muslim? Kemudian aku terdiam sejenak, dan aku terdorong untuk lebih memastikan apa yang dimaksud Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku ulangi ucapanku: Wahai Rasulullah, bagaimana dengan si fulan? Sungguh aku memandangnya sebagai seorang mu’min. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membalas: atau dia muslim? Lalu aku terdorong lagi untuk lebih memastikan apa yang dimaksudnya hingga aku ulangi lagi pertanyaanku. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Wahai Sa’d, sesungguhnya aku juga akan memberi kepada orang tersebut. Namun aku lebih suka memberi kepada yang lainnya dari pada memberi kepada dia, karena aku takut kalau Allah akan mencampakkannya ke neraka. Yunus, Shalih, Ma’mar dan keponakan Az Zuhri, telah meriwayatkan dari Az Zuhri

 

 

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

 

 

2.21/27. Telah menceritakan kepada kami Qutaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yazid bin Abu Habib dari Abu Al Khair dari Abdullah bin ‘Amru bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; Islam manakah yang paling baik? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Kamu memberi makan dan memberi salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal.

 

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

 

 

2.22/28. Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Zaid bin Aslam dari ‘Atho’ bin Yasar dari Ibnu ‘Abbas berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Karena mereka sering mengingkari. Ditanyakan: Apakah mereka mengingkari Allah? Beliau bersabda: Mereka mengingkari pemberian suami, mengingkari kebaikan. Seandainya kamu berbuat baik terhadap seseorang dari mereka sepanjang masa, lalu dia melihat satu saja kejelekan darimu maka dia akan berkata: ‘aku belum pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu.

 

 

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ وَاصِلٍ الْأَحْدَبِ عَنْ الْمَعْرُورِ بْنِ سُوَيْدٍ قَالَ لَقِيتُ أَبَا ذَرٍّ بِالرَّبَذَةِ وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ وَعَلَى غُلَامِهِ حُلَّةٌ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنِّي سَابَبْتُ رَجُلًا فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ فَقَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمْ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ

 

 

2.23/29. Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil Al Ahdab dari Al Ma’rur bin Suwaid berkata: Aku bertemu Abu Dzar di Rabdzah yang saat itu mengenakan pakaian dua lapis, begitu juga anaknya, maka aku tanyakan kepadanya tentang itu, maka dia menjawab: Aku telah menghina seseorang dengan cara menghina ibunya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegurku: Wahai Abu Dzar apakah kamu menghina ibunya? Sesungguhnya kamu masih memiliki (sifat) jahiliyyah. Saudara-saudara kalian adalah tanggungan kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah tangan kalian. Maka siapa yang saudaranya berada di bawah tangannya (tanggungannya) maka jika dia makan berilah makanan seperti yang dia makan, bila dia berpakaian berilah seperti yang dia pakai, janganlah kalian membebani mereka sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka. Jika kalian membebani mereka, maka bantulah mereka.

 

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْمُبَارَكِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ وَيُونُسُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ ذَهَبْتُ لِأَنْصُرَ هَذَا الرَّجُلَ فَلَقِيَنِي أَبُو بَكْرَةَ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قُلْتُ أَنْصُرُ هَذَا الرَّجُلَ قَالَ ارْجِعْ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

 

 

2.24/30. Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Al Mubarak Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid Telah menceritakan kepada kami Ayyub dan Yunus dari Al Hasan dari Al Ahnaf bin Qais berkata; aku datang untuk menolong seseorang kemudian bertemu Abu Bakrah, maka dia bertanya: Kamu mau kemana? Aku jawab: hendak menolong seseorang dia berkata: Kembalilah, karena aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika dua orang muslim saling bertemu (untuk berkelahi) dengan menghunus pedang masing-masing, maka yang terbunuh dan membunuh masuk neraka. aku pun bertanya: Wahai Rasulullah, ini bagi yang membunuh, tapi bagaimana dengan yang terbunuh? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Dia juga sebelumnya sangat ingin untuk membunuh temannya.

 

 

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ح قَالَ و حَدَّثَنِي بِشْرُ بْنُ خَالِدٍ أَبُو مُحَمَّدٍ الْعَسْكَرِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ { الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ } قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ }

 

 

2.25/31. Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dan juga telah meriwayatkan hadits yang serupa ini, Telah menceritakan kepadaku Bisyir bin Khalid Abu Muhammad Al ‘Asykari berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Sulaiman dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata: ketika turun ayat: Orang-orang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezhaliman para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: Siapakah diantara kami yang tidak berbuat zhalim? Maka Allah ‘azza wajalla menurunkan (firman-Nya): Sesungguhnya kesyirikan adalah kezhaliman yang besar. (QS. Luqman: 13)

 

 

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَبُو الرَّبِيعِ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا نَافِعُ بْنُ مَالِكِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ أَبُو سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

 

 

2.26/32. Telah menceritakan kepada kami Sulaiman Abu ar Rabi’ berkata, telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ja’far berkata, telah menceritakan kepada kami Nafi’ bin Malik bin Abu ‘Amir Abu Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat.

 

 

حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ بْنُ عُقْبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ تَابَعَهُ شُعْبَةُ عَنْ الْأَعْمَشِ

 

 

2.27/33. Telah menceritakan kepada kami Qabishah bin ‘Uqbah berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari Abdullah bin Murrah dari Masruq dari Abdullah bin ‘Amru bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Empat hal bila ada pada seseorang maka dia adalah seorang munafiq tulen, dan barangsiapa yang terdapat pada dirinya satu sifat dari empat hal tersebut maka pada dirinya terdapat sifat nifaq hingga dia meninggalkannya. Yaitu, jika diberi amanat dia khianat, jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika berseteru curang. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Syu’bah dari Al A’masy.

 

 

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

 

 

2.28/34. Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu’aib berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Al Zanad dari Al A’raj dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa menegakkan lailatul qodar karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

 

 

حَدَّثَنَا حَرَمِيُّ بْنُ حَفْصٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَارَةُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ بْنُ عَمْرِو بْنِ جَرِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ انْتَدَبَ اللَّهُ لِمَنْ خَرَجَ فِي سَبِيلِهِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا إِيمَانٌ بِي وَتَصْدِيقٌ بِرُسُلِي أَنْ أُرْجِعَهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ أَوْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَلَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي مَا قَعَدْتُ خَلْفَ سَرِيَّةٍ وَلَوَدِدْتُ أَنِّي أُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيَا ثُمَّ أُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا ثُمَّ أُقْتَلُ

 

 

2.29/35. Telah menceritakan kepada kami Harami bin Hafsh berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid berkata, telah menceritakan kepada kami Umarah berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah bin ‘Amru bin Jarir berkata: Aku mendengar Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Allah menjamin orang yang keluar (berperang) di jalan-Nya, tidak ada yang mendorongnya keluar kecuali karena iman kepada-Ku dan membenarkan para rasul-Ku untuk mengembalikannya dengan memperoleh pahala atau ghonimah atau memasukkannya ke surga. Kalau seandainya tidak memberatkan umatku tentu aku tidak akan duduk tinggal diam di belakang sariyyah (pasukan khusus) dan tentu aku ingin sekali bila aku terbunuh di jalan Allah lalu aku dihidupkan lagi kemudian terbunuh lagi lalu aku dihidupkan kembali kemudian terbunuh lagi.

 

 

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

 

 

2.30/36. Telah menceritakan kepada kami Isma’il berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Humaid bin Abdurrahman dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa menegakkan Ramadlan karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

 

 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

 

 

2.31/37. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Fudlail berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Abu Salamah dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

 

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلَامِ بْنُ مُطَهَّرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ مَعْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْغِفَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ

 

 

2.32/38. Telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Muthahhar berkata, telah menceritakan kepada kami Umar bin Ali dari Ma’an bin Muhammad Al Ghifari dari Sa’id bin Abu Sa’id Al Maqburi dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira dan minta tolonglah dengan Al Ghadwah (berangkat di awal pagi) dan ar-ruhah (berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah ((berangkat di waktu malam) .

 

 

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَوَّلَ مَا قَدِمَ الْمَدِينَةَ نَزَلَ عَلَى أَجْدَادِهِ أَوْ قَالَ أَخْوَالِهِ مِنْ الْأَنْصَارِ وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلَاةٍ صَلَّاهَا صَلَاةَ الْعَصْرِ وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ مَكَّةَ فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ وَكَانَتْ الْيَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّي قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ وَأَهْلُ الْكِتَابِ فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ الْبَيْتِ أَنْكَرُوا ذَلِكَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنْ الْبَرَاءِ فِي حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّهُ مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ وَقُتِلُوا فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى { وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ }

 

 

2.33/39. Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Khalid berkata, telah menceritakan kepada kami Zuhair berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq dari Al Barro` bin ‘Azib bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat pertama kali datang di Madinah, singgah pada kakek-kakeknya (‘Azib) atau paman-pamannya dari Kaum Anshar, dan saat itu Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam shalat menghadap Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan, dan Beliau sangat senang sekali kalau shalat menghadap Baitullah (Ka’bah). Shalat yang dilakukan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pertama kali (menghadap Ka’bah) itu adalah shalat ‘ashar dan orang-orang juga ikut shalat bersama Beliau. Pada suatu hari sahabat yang ikut shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi melewati orang-orang di Masjid lain saat mereka sedang ruku’, maka dia berkata: Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku ikut shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap Makkah, maka orang-orang yang sedang (ruku’) tersebut berputar menghadap Baitullah dan orang-orang Yahudi dan Ahlul Kitab menjadi heran, sebab sebelumnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat menghadap Baitul Maqdis. Ketika melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapkan wajahnya ke Baitullah mereka mengingkari hal ini. Berkata Zuhair Telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq dari Al Barro`, dalam haditsnya ini menerangkan tentang (hukum) seseorang yang meninggal dunia pada saat arah qiblat belum dialihkan dan juga banyak orang-orang yang terbunuh pada masa itu?, kami tidak tahu apa yang harus kami sikapi tentang mereka hingga akhirnya Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya: Dan Allah tidaklah akan menyia-nyiakan iman kalian. (QS. Al Baqoroh: 143)

 

 

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلَامَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ وَكُلُّ سَيِّئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِمِثْلِهَا

 

 

2.34/40. Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq berkata, telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Hamam bin Munabbih dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila seorang dari kalian memperbaiki keIslamannya maka dari setiap kebaikan akan ditulis baginya sepuluh (kebaikan) yang serupa hingga tujuh ratus tingkatan, dan setiap satu kejelekan yang dikerjakan akan ditulis satu kejelekan saja yang serupa dengannya.

 

 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا امْرَأَةٌ قَالَ مَنْ هَذِهِ قَالَتْ فُلَانَةُ تَذْكُرُ مِنْ صَلَاتِهَا قَالَ مَهْ عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَادَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

 

 

2.35/41. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam berkata, telah mengabarkan bapakku kepadaku dari Aisyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya dan bersamanya ada seorang wanita lain, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: siapa ini? Aisyah menjawab: si fulanah, Lalu diceritakan tentang shalatnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: tinggalkanlah apa yang tidak kalian sanggupi, demi Allah, Allah tidak akan bosan hingga kalian sendiri yang menjadi bosan, dan agama yang paling dicintai-Nya adalah apa yang senantiasa dikerjakan secara rutin dan kontinyu.

 

 

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ أَبَانُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا أَنَسٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِيمَانٍ مَكَانَ مِنْ خَيْرٍ

 

 

2.36/42. Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam berkata, telah menceritakan kepada kami Qotadah dari Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Akan dikeluarkan dari neraka siapa yang mengatakan tidak ada Ilah kecuali Allah dan dalam hatinya ada kebaikan sebesar jemawut. Dan akan dikeluarkan dari neraka siapa yang mengatakan tidak ada ilah kecuali Allah dan dalam hatinya ada kebaikan sebesar biji gandum. Dan akan dikeluarkan dari neraka siapa yang mengatakan tidak ada ilah kecuali Allah dan dalam hatinya ada kebaikan sebesar biji sawi. Abu Abdullah berkata; Aban berkata; Telah menceritakan kepada kami Qotadah Telah menceritakan kepada kami Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda. Dan kata iman di dalam hadits ini diganti dengan kata kebaikan.

 

 

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحِ سَمِعَ جَعْفَرَ بْنَ عَوْنٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْعُمَيْسِ أَخْبَرَنَا قَيْسُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْيَهُودِ قَالَ لَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ آيَةٌ فِي كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا قَالَ أَيُّ آيَةٍ قَالَ { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمْ الْإِسْلَامَ دِينًا } قَالَ عُمَرُ قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ

 

 

2.37/43. Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ash Shabbah bahwa dia mendengar Ja’far bin ‘Aun berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu Al ‘Umais, telah mengabarkan kepada kami Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab dari Umar bin Al Khaththab; Ada seorang laki-laki Yahudi berkata: Wahai Amirul Mu’minin, ada satu ayat dalam kitab kalian yang kalian baca, seandainya ayat itu diturunkan kepada kami Kaum Yahudi, tentulah kami jadikan (hari diturunkannya ayat itu) sebagai hari raya (‘ied). Maka Umar bin Al Khaththab berkata: Ayat apakah itu? (Orang Yahudi itu) berkata: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian. (QS. Al Maidah ayat 3). Maka Umar bin Al Khaththab menjawab: Kami tahu hari tersebut dan dimana tempat diturunkannya ayat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu pada hari Jum’at ketika Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berada di ‘Arafah.

 

 

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ عَمِّهِ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ يَقُولُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرَ الرَّأْسِ يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ وَلَا يُفْقَهُ مَا يَقُولُ حَتَّى دَنَا فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصِيَامُ رَمَضَانَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الزَّكَاةَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلَا أَنْقُصُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ

 

 

2.38/44. Telah menceritakan kepada kami Isma’il Telah menceritakan kepadaku Malik bin Anas dari pamannya – Abu Suhail bin Malik – dari bapaknya, bahwa dia mendengar Thalhah bin ‘Ubaidullah berkata: Telah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seorang dari penduduk Najed dalam keadaan kepalanya penuh debu dengan suaranya yang keras terdengar, namun tidak dapat dimengerti apa maksud yang diucapkannya, hingga mendekat (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) kemudian dia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Shalat lima kali dalam sehari semalam. Kata orang itu: apakah ada lagi selainnya buatku. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Dan puasa Ramadlan. Orang itu bertanya lagi: Apakah ada lagi selainnya buatku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) . Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut: Zakat: Kata orang itu: apakah ada lagi selainnya buatku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) . Thalhah bin ‘Ubaidullah berkata: Lalu orang itu pergi sambil berkata: Demi Allah, aku tidak akan menambah atau menguranginya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Dia akan beruntung jika jujur menepatinya.

 

 

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَلِيٍّ الْمَنْجُوفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا رَوْحٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ وَمُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اتَّبَعَ جَنَازَةَ مُسْلِمٍ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا وَكَانَ مَعَهُ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا وَيَفْرُغَ مِنْ دَفْنِهَا فَإِنَّه يَرْجِعُ مِنْ الْأَجْرِ بِقِيرَاطَيْنِ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ قَبْلَ أَنْ تُدْفَنَ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ بِقِيرَاطٍ تَابَعَهُ عُثْمَانُ الْمُؤَذِّنُ قَالَ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ

 

 

2.39/45. Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdullah bin Ali Al Manjufi berkata, telah menceritakan kepada kami Rauh berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Auf dari Al Hasan dan Muhammad dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: Barangsiapa mengiringi jenazah muslim, karena iman dan mengharapkan balasan dan dia selalu bersama jenazah tersebut sampai dishalatkan dan selesai dari penguburannya, maka dia pulang dengan membawa dua qiroth, setiap qiroth setara dengan gunung Uhud. Dan barangsiapa menyolatkannya dan pulang sebelum dikuburkan maka dia pulang membawa satu qiroth. Hadits seperti ini juga diriwayatkan dari Utsman Al Mu`adzin, dia berkata; telah menceritakan kepada kami ‘Auf dari Muhammad dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَرْعَرَةَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ زُبَيْدٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا وَائِلٍ عَنْ الْمُرْجِئَةِ فَقَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

 

 

2.40/46. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ar’arah berkata, Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Zubaid berkata: Aku bertanya kepada Abu Wa’il tentang Murji`ah, maka dia menjawab: Telah menceritakan kepadaku Abdullah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: mencerca orang muslim adalah fasiq dan memeranginya adalah kufur.

 

 

أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يُخْبِرُ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ إِنِّي خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ وَإِنَّهُ تَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ الْتَمِسُوهَا فِي السَّبْعِ وَالتِّسْعِ وَالْخَمْسِ

 

 

2.41/47. Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’id Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ja’far dari Humaid, Telah menceritakan kepadaku Anas bin Malik berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Ubadah bin Ash Shamit, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar untuk menjelaskan tentang Lailatul Qodar, lalu ada dua orang muslimin saling berdebat. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Aku datang untuk menjelaskan Lailatul Qodar kepada kalian, namun fulan dan fulan saling berdebat sehingga akhirnya diangkat (lailatul qodar), dan semoga menjadi lebih baik buat kalian, maka itu intailah (lailatul qodar) itu pada hari yang ketujuh, enam dan lima .

 

 

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ قَالَ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا إِذَا وَلَدَتْ الْأَمَةُ رَبَّهَا وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الْإِبِلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ فِي خَمْسٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ تَلَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ } الْآيَةَ ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ رُدُّوهُ فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا فَقَالَ هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ جَعَلَ ذَلِك كُلَّهُ مِنْ الْإِيمَانِ

 

 

2.42/48. Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Abu Hayyan At Taimi dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah berkata; bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari muncul kepada para sahabat, lalu datang Malaikat Jibril ‘Alaihis Salam yang kemudian bertanya: Apakah iman itu? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Iman adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari berbangkit. (Jibril ‘Alaihis salam) berkata: Apakah Islam itu? Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Islam adalah kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun, kamu dirikan shalat, kamu tunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa di bulan Ramadlan. (Jibril ‘Alaihis salam) berkata: Apakah ihsan itu? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Kamu menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya dan bila kamu tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu. (Jibril ‘Alaihis salam) berkata lagi: Kapan terjadinya hari kiamat? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Yang ditanya tentang itu tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi aku akan terangkan tanda-tandanya; (yaitu); jika seorang budak telah melahirkan tuannya, jika para penggembala unta yang berkulit hitam berlomba-lomba membangun gedung-gedung selama lima masa, yang tidak diketahui lamanya kecuali oleh Allah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca: Sesungguhnya hanya pada Allah pengetahuan tentang hari kiamat (QS. Luqman: 34). Setelah itu Jibril ‘Alaihis salam pergi, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata; hadapkan dia ke sini. Tetapi para sahabat tidak melihat sesuatupun, maka Nabi bersabda; Dia adalah Malaikat Jibril datang kepada manusia untuk mengajarkan agama mereka. Abu Abdullah berkata: Semua hal yang diterangkan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dijadikan sebagai iman.

 

 

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ أَنَّ هِرَقْلَ قَالَ لَهُ سَأَلْتُكَ هَلْ يَزِيدُونَ أَمْ يَنْقُصُونَ فَزَعَمْتَ أَنَّهُمْ يَزِيدُونَ وَكَذَلِكَ الْإِيمَانُ حَتَّى يَتِمَّ وَسَأَلْتُكَ هَلْ يَرْتَدُّ أَحَدٌ سَخْطَةً لِدِينِهِ بَعْدَ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ فَزَعَمْتَ أَنْ لَا وَكَذَلِكَ الْإِيمَانُ حِينَ تُخَالِطُ بَشَاشَتُهُ الْقُلُوبَ لَا يَسْخَطُهُ أَحَدٌ

 

 

2.43/49. Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Hamzah berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’d dari Shalih dari Ibnu Syihab dari Ubaidillah bin Abdullah bahwa Abdullah bin ‘Abbas mengabarkan kepadanya, bahwa dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Abu Sufyan bin Harb bahwa Heraqlius berkata kepadanya: Aku sudah bertanya kepadamu, apakah jumlah mereka bertambah atau berkurang? Maka kamu bertutur bahwa mereka bertambah, dan memang begitulah iman akan terus berkembang hingga sempurna. Dan aku bertanya kepadamu, apakah ada orang yang murtad karena dongkol pada agamanya? Kemudian kamu bertutur; tidak ada, maka begitu juga iman bila sudah tumbuh bersemi dalam hati tidak akan ada yang dongkol kepadanya.

 

 

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

 

 

2.44/50. Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim Telah menceritakan kepada kami Zakaria dari ‘Amir berkata; aku mendengar An Nu’man bin Basyir berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati.

 

 

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ قَالَ كُنْتُ أَقْعُدُ مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ يُجْلِسُنِي عَلَى سَرِيرِهِ فَقَالَ أَقِمْ عِنْدِي حَتَّى أَجْعَلَ لَكَ سَهْمًا مِنْ مَالِي فَأَقَمْتُ مَعَهُ شَهْرَيْنِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ وَفْدَ عَبْدِ الْقَيْسِ لَمَّا أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ الْقَوْمُ أَوْ مَنْ الْوَفْدُ قَالُوا رَبِيعَةُ قَالَ مَرْحَبًا بِالْقَوْمِ أَوْ بِالْوَفْدِ غَيْرَ خَزَايَا وَلَا نَدَامَى فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا لَا نَسْتَطِيعُ أَنْ نَأْتِيكَ إِلَّا فِي الشَّهْرِ الْحَرَامِ وَبَيْنَنَا وَبَيْنَكَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ كُفَّارِ مُضَرَ فَمُرْنَا بِأَمْرٍ فَصْلٍ نُخْبِرْ بِهِ مَنْ وَرَاءَنَا وَنَدْخُلْ بِهِ الْجَنَّةَ وَسَأَلُوهُ عَنْ الْأَشْرِبَةِ فَأَمَرَهُمْ بِأَرْبَعٍ وَنَهَاهُمْ عَنْ أَرْبَعٍ أَمَرَهُمْ بِالْإِيمَانِ بِاللَّهِ وَحْدَهُ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْإِيمَانُ بِاللَّهِ وَحْدَهُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصِيَامُ رَمَضَانَ وَأَنْ تُعْطُوا مِنْ الْمَغْنَمِ الْخُمُسَ وَنَهَاهُمْ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ الْحَنْتَمِ وَالدُّبَّاءِ وَالنَّقِيرِ وَالْمُزَفَّتِ وَرُبَّمَا قَالَ الْمُقَيَّرِ وَقَالَ احْفَظُوهُنَّ وَأَخْبِرُوا بِهِنَّ مَنْ وَرَاءَكُمْ

 

 

2.45/51. Telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Ja’di berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Abu Jamrah berkata: aku pernah duduk bersama Ibnu ‘Abbas saat dia mempersilahkan aku duduk di permadaninya lalu berkata: Tinggallah bersamaku hingga aku memberimu bagian dari hartaku. Maka aku tinggal mendampingi dia selama dua bulan, lalu berkata: Ketika utusan Abu Qais datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau bertanya kepada mereka: Kaum manakah ini atau utusan siapakah ini? Mereka menjawab: Rabi’ah! Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: selamat datang wahai para utusan dengan sukarela dan tanpa menyesal. para utusan itu berkata: ya Rasulullah, kami tidak dapat mendatangimu kecuali di bulan suci, karena antara kami dan engkau ada suku Mudlor yang kafir. Oleh karena itu ajarkanlah kami dengan satu pelajaran yang jelas yang dapat kami amalkan dan dapat kami ajarkan kepada orang-orang di kampung kami, yang dengan begitu kami dapat masuk surga. kemudian mereka bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang minuman, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka dengan empat hal dan melarang dari empat hal, memerintahkan mereka untuk beriman kepada Allah satu-satunya, kemudian bertanya: Tahukah kalian apa arti beriman kepada Allah satu-satunya? Mereka menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan: Persaksian tidak ada ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadlan dan mengeluarkan seperlima dari harta rampasan perang. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka dari empat perkara, yaitu janganlah kalian meminum sesuatu dari al hantam, ad Dubbaa`, an naqir dan al Muzaffaat. Atau Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut muqoyyir (bukan naqir). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: jagalah semuanya dan beritahukanlah kepada orang-orang di kampung kalian.

 

 

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

 

 

2.46/52. Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrahim dari Alqamah bin Waqash dari Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan..

 

 

حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَدِيُّ بْنُ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ يَزِيدَ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ

 

 

2.47/53. Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Adi bin Tsabit berkata: Aku pernah mendengar Abdullah bin Yazid dari Abu Mas’ud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Apabila seseorang memberi nafkah untuk keluarganya dengan niat mengharap pahala maka baginya Sedekah.

 

 

حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي عَامِرُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ

 

 

2.48/54. Telah menceritakan kepada kami Al Hakam bin Nafi’ berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhri berkata, telah menceritakan kepadaku ‘Amir bin Sa’d dari Sa’d bin Abu Waqash bahwasanya dia mengabarkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya, tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah kecuali kamu akan diberi pahala termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu.

 

 

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنِي قَيْسُ بْنُ أَبِي حَازِمٍ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

 

 

2.49/55. Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Isma’il berkata, telah menceritakan kepadaku Qais bin Abu Hazim dari Jarir bin Abdullah berkata: Aku telah membai’at Rasulullah untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menasehati kepada setiap muslim.

 

 

حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ قَالَ سَمِعْتُ جَرِيرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ يَوْمَ مَاتَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ قَامَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ عَلَيْكُمْ بِاتِّقَاءِ اللَّهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَالْوَقَارِ وَالسَّكِينَةِ حَتَّى يَأْتِيَكُمْ أَمِيرٌ فَإِنَّمَا يَأْتِيكُمْ الْآنَ ثُمَّ قَالَ اسْتَعْفُوا لِأَمِيرِكُمْ فَإِنَّهُ كَانَ يُحِبُّ الْعَفْوَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ أُبَايِعُكَ عَلَى الْإِسْلَامِ فَشَرَطَ عَلَيَّ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ فَبَايَعْتُهُ عَلَى هَذَا وَرَبِّ هَذَا الْمَسْجِدِ إِنِّي لَنَاصِحٌ لَكُمْ ثُمَّ اسْتَغْفَرَ وَنَزَلَ

 

 

2.50/56. Telah menceritakan kepada kami Abu An Nu’man berkata, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Ziyad bin ‘Alaqah berkata; saya mendengar Jarir bin Abdullah berkata ketika Al Mughirah bin Syu’bah meninggal, sambil berdiri dia memuji Allah dan mensucikan-Nya, berkata: Wajib atas kalian bertakwa kepada Allah satu-satunya dan tidak menyekutukannya, dan dengan penuh ketundukan dan ketenangan sampai datang pemimpin pengganti, dan sekarang datang penggantinya, kemudian dia berkata: Mintakanlah maaf kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala buat pemimpin kalian ini (Al Mughirah), karena dia suka memberi maaf. Lalu berkata: Amma ba’du, sesungguhnya aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian aku berkata: Aku membai’at engkau untuk Islam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi syarat dan menasehati kepada setiap muslim, maka aku membai’at Beliau untuk perkara itu, dan demi Pemilik Masjid ini, sungguh aku akan selalu memberi nasihat kepada kalian Kemudian dia beristighfar lalu turun dari mimbar.

 Gambar

Nabi Muhammad Saw Dalam Ber I’tikaf

Bagi Anda yang mengetahui keutamaan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan…
Bagi Anda yang mengetahui keutamaan Lailatul Qadar…
Bagi Anda yang ingin meraih berbagai keutamaan itu melalui I’tikaf…
Berikut ini petunjuk Nabi صلى الله عليه وسلم dalam melaksanakan amalan mulia ini:
أريد أن أعرف هدي النبي صلى الله عليه وسلم في الاعتكاف .
Aku ingin mengetahui petunjuk Nabi صلى الله عليه وسلم tentang I’tikaf
الحمد لله
Segala puji bagi Allah
كان هديه صلى الله عليه وسلم في الاعتكاف أكمل هدي وأيسره .
اعتكف مرة في العشر الأول ثم الأوسط يلتمس ليلة القدر ، ثم تبين له أنها في العشر الأخير فداوم على اعتكاف العشر الأخير حتى لحق بربه عز وجل .
وترك مرة اعتكاف العشر الأخير فقضاه في شوال فاعتكف العشر الأول منه . رواه البخاري ومسلم .
Petunjuk Nabi صلى الله عليه وسلم dalam I’tikaf adalah petunjuk yang sempurna dan paling mudah.
Beliau pernah I’tikaf di sepuluh hari pertama bulan Ramadhan lalu I’tikaf sepuluh hari pertengahan untuk mencari Lailatul Qadar kemudian jelaslah bagi beliau bahwa Lailatul Qadar ada pada sepuluh hari terakhir, maka beliau pun terus menerus I’tikaf di sepuluh hari terakhir hingga bertemu Rabbnya عز وجل.
Dan beliau pun pernah tidak mengerjakan I’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, lalu beliau pun menggantinya di bulan Syawwal yaitu di sepuluh hari pertama bulan Syawwal (HR. Bukhari Muslim)
ولما كان العام الذي قُبض فيه اعتكف عشرين يوماً . رواه البخاري (2040) .
“قِيلَ : السَّبَبُ فِي ذَلِكَ أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِلْم بِانْقِضَاءِ أَجَلِهِ فَأَرَادَ أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنْ أَعْمَالِ الْخَيْرِ لِيُبَيِّنَ لأُمَّتِهِ الاجْتِهَادَ فِي الْعَمَل إِذَا بَلَغُوا أَقْصَى الْعَمَل لِيَلْقَوْا اللَّهَ عَلَى خَيْرِ أَحْوَالِهِمْ , وَقِيلَ : السَّبَبُ فِيهِ أَنَّ جِبْرِيل كَانَ يُعَارِضُهُ بِالْقُرْآنِ فِي كُلّ رَمَضَانَ مَرَّةً , فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ عَارَضَهُ بِهِ مَرَّتَيْنِ فَلِذَلِكَ اِعْتَكَفَ قَدْرَ مَا كَانَ يَعْتَكِف مَرَّتَيْنِ.
Tatkala di tahun wafatnya, beliau mengerjakan I’tikaf selama dua puluh hari (HR. Bukhari no. 2040)
Ada yang berpendapat bahwa sebab demikian yaitu karena beliau mengetahui (telah dekat) akhir ajalnya, maka beliau pun ingin memperbanyak amal kebaikan agar menjelaskan kepada umatnya tentang kesungguhan dalam beramal jika mereka sampai penghujung amal supaya mereka bertemu Allah dalam keadaan mereka yang paling baik.
Ada yang berpendapat bahwa sebab demikian dikarenakan Jibril membacakan Al-Quran sekali setiap Ramadhan sedangkan di tahun wafatnya beliau, Jibril melakukannya dua kali, karena itu beliau melakukan I’tikaf dua kali lipat (yaitu dua puluh hari).
وَأَقْوَى مِنْ ذَلِكَ أَنَّهُ إِنَّمَا اِعْتَكَفَ فِي ذَلِكَ الْعَام عِشْرِينَ لأَنَّهُ كَانَ الْعَام الَّذِي قَبْلَهُ مُسَافِرًا , وَيَدُلُّ لِذَلِكَ مَا أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ وَاللَّفْظ لَهُ وَأَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اِبْن حِبَّانَ وَغَيْرُهُ مِنْ حَدِيث أُبَيّ بْن كَعْب ” أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْر الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَان , فَسَافَرَ عَامًا فَلَمْ يَعْتَكِف , فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ اِعْتَكَفَ عِشْرِينَ ” اهـ من فتح الباري .
Akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah bahwa beliau melakukan I’tikaf dua puluh hari di tahun itu karena tahun sebelumnya beliau melakukan perjalanan jauh (sehingga tak sempat I’tikaf). Yang menunjukkan itu adalah apa yang diriwayatkan oleh An-Nasai dan ini redaksinya dan juga Abu Daud dan Ibnu Hibban menshahihkannya dan juga selainnya dari hadits Ubay bin Ka’b bahwasanya Nabi صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan I’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, lalu beliau safar/melakukan perjalanan jauh selama satu tahun hingga tak melakukan I’tikaf. Tatkala tahun berikutnya beliau pun melaksanakan I’tikaf selama dua puluh hari. (dinukil dari Fathulbari)
وكان صلى الله عليه وسلم يأمر بخباء ( على مثل هيئة الخيمة ) فيضرب له في المسجد ، فيمكث فيه ، يخلو فيه عن الناس ، ويقبل على ربه تبارك وتعالى ، حتى تتم له الخلوة بصورة واقعية .
واعتكف مرة في قُبَّة تركية (أي خيمة صغيرة) وجعل على بابها حصيراً . رواه مسلم (1167) .
Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم ketika hendak I’tikaf meminta dibangun khiba (seperti bentuk kemah) lalu dipancangkan itu untuk beliau di masjid. Beliau pun berdiam di dalamnya. Menyendiri dari manusia dan menghadap kepada Rabbnya sampai benar-benar nyata bersendiri.
Dan beliau pun pernah I’tikaf di dalam Kubah Turkiyyah (yaitu kemah kecil) dan diletakkan pada pintunya tikar. (HR. Muslim no. 1167)
قال ابن القيم في “زاد المعاد” (2/90) :
“كل هذا تحصيلاً لمقصود الاعتكاف وروحه ، عكس ما يفعله الجهال من اتخاذ المعتكف موضع عشرة ، ومجلبة للزائرين ، وأخذهم بأطراف الحديث بينهم ، فهذا لون ، والاعتكاف النبوي لون” اهـ .
Berkata Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (2/90):
“Seluruh perbuatan ini untuk menggapai tujuan dan ruh dari I’tikaf. Berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang bodoh yang menjadikan tempat I’tikaf sebagai tempat bergaul dan penarik pengunjung serta sarana mencari kemuliaan di antara mereka. Maka ini satu macam dan I’tikafnya Nabi adalah macam yang lain. ” (selesai penukilan dari beliau)
وكان دائم المكث في المسجد لا يخرج منه إلا لقضاء الحاجة ، قال عائشة رَضِيَ اللَّهُ عَنْها : (وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا ) رواه البخاري (2029) ومسلم (297) . وفي رواية لمسلم : ( إِلا لِحَاجَةِ الإِنْسَانِ ) . وَفَسَّرَهَا الزُّهْرِيُّ بِالْبَوْلِ وَالْغَائِط .
وكان صلى الله عليه وسلم يحافظ على نظافته فكان يخرج رأسه من المسجد إلى حجرة عائشة فتغسل له رأسه صلى الله عليه وسلم وتسرحه .
روى البخاري (2028) ومسلم (297) عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ (أي : معتكف) فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ . وفي رواية للبخاري ومسلم : (فَأَغْسِلُهُ) . وترجيل الشعر تسريحه .
Dan beliau selalu berdiam diri di masjid. Tidak keluar darinya kecuali jika ingin menunaikan hajat. Berkata Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْها: “Dan beliau tidaklah memasuki rumah ketika I’tikaf kecuali karena memiliki hajat (yang perlu ditunaikan). “ (HR. Bukhari no. 2029 dan Muslim no. 297) dalam riwayat Muslim: “Kecuali karena hajat seorang insan (yang perlu ditunaikan). ”
Az-Zuhri menafsirkannya dengan buang air kecil dan buang air besar.
Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم senantiasa menjaga kebersihan beliau (tatkala I’tikaf), karena itu beliau mengeluarkan kepalanya dari masjid ke kamar Aisyah, lalu ia pun mencuci kepala beliau صلى الله عليه وسلم dan menyisirnya.
Imam Bukhari dalam Shahihnya no. 2028 dan Muslim no. 297 meriwayatkan dari Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ia berkata, “Nabi صلى الله عليه وسلم menyodorkan kepalanya kepadaku sedangkan beliau lagi I’tikaf, maka aku pun menyisirnya sedangkan aku ketika itu lagi haid. “ Dalam riwayat lain Bukhari dan Muslim: ”Aku pun mencucinya. ”
قال الحافظ :
“وَفِي الْحَدِيث جَوَاز التَّنَظُّفِ وَالتَّطَيُّبِ وَالْغَسْلِ وَالْحَلْقِ وَالتَّزَيُّن إِلْحَاقًا بِالتَّرَجُّلِ , وَالْجُمْهُور عَلَى أَنَّهُ لا يُكْرَهُ فِيهِ إِلا مَا يُكْرَه فِي الْمَسْجِدِ” اهـ .
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar: “Dalam hadits ini terdapat keterangan akan bolehnya membersihkan diri, memakai minyak wangi, mandi, mencukur, dan berhias karena serupa dengan menyisir. Dan mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang melakukan I’tikaf tidak makruh melakukan sesuatu kecuali melakukan perbuatan makruh di masjid. “
وكان من هديه صلى الله عليه وسلم إذا كان معتكفاً ألا يعود مريضاً ولا يشهد جنازة ، وذلك من أجل التركيز الكلي لمناجاة الله تعالى ، وتحقيق الحكمة من الاعتكاف وهي الانقطاع عن الناس والإقبال على الله تعالى .
قالت عائشة : (السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لا يَعُودَ مَرِيضًا ، وَلا يَشْهَدَ جَنَازَةً ، وَلا يَمَسَّ امْرَأَةً وَلا يُبَاشِرَهَا ، وَلا يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلا لِمَا لا بُدَّ مِنْهُ ) . رواه أبو داود (2473) وصححه الألباني في صحيح أبي داود .
“وَلا يَمَسَّ امْرَأَةً وَلا يُبَاشِرَهَا ” تريد بذلك الجماع . قاله الشوكاني في “نيل الأوطار” .
Termasuk dari petunjuk beliau صلى الله عليه وسلم ketika melakukan I’tikaf yaitu hendaknya orang yang melaksanakan I’tikaf tidak menjenguk orang sakit dan tidak mengiringi jenazah. Yang demikian itu agar berkonsentrasi penuh untuk bermunajat kepada Allah Ta’ala dan juga merealisasikan hikmah dari I’tikaf yaitu tidak berhubungan dengan manusia dan menghadap kepada Allah Ta’ala.
Aisyah berkata: “Yang sunnah atas seorang yang melakukan I’tikaf adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak mengiringi jenaza, tidak menyentuh dan mencumbui istri serta tidak keluar dari masjid kecuali karena kebutuhan yang mendesak. “ (HR. Abu Daud no. 2473 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Daud)
“Tidak menyentuh dan mencumbui istri” maksudnya adalah senggama. Demikian dinyatakan oleh Asy-Syaukani dalam Nailul Authar.
وكانت بعض أزواجه تزوره وهو معتكف صلى الله عليه وسلم فلما قامت لتذهب قام معها ليوصلها ، وكان ذلك ليلاً .
فعن صَفِيَّةَ زَوْج النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا . أي : ليردها إلى منزلها . رواه البخاري (2035) ومسلم (2175) .
Dan sebagian istri beliau pernah mengunjungi beliau tatkala beliau melakukan I’tikaf. Tatkala akan beranjak pergi, beliau pun bangun untuk mengantarkannya dan itu ketika malam hari.
Dari Shafiyyah, istri Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bahwasanya ia mendatangi Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengunjungi beliau di tempat I’tikaf beliau di masjid di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Shafiyyah berbincang dengan beliau sejenak lalu beranjak pulang, maka Nabi pun صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bangkit mengantarkannya ke rumahnya. (HR. Bukhari no. 2035 dan Muslim no. 2175)
وخلاصة القول كان اعتكافه صلى الله عليه وسلم يتسم باليسر وعدم التشدد ، وكان وقته كله ذكراً لله تعالى وإقبالاً على طاعته التماساً لليلة القدر .
انظر : “زاد المعاد” لابن القيم (2/90) ، “الاعتكاف نظرة تربوية” للدكتور عبد اللطيف بالطو .
Kesimpulannya yaitu I’tikaf yang beliau jalankan adalah mudah dan tidak susah. Dan seluruh waktu beliau ketika I’tikaf adalah mengingat Allah dan menghadapkan diri beliau untuk mengerjakan ketaatan kepada-Nya dalam rangka mendapatkan Lailatul Qadar.
Iktikaf
I’tikaf (Itikaf, iktikaf, iqtikaf, i’tiqaf, itiqaf), berasal dari bahasa Arab akafa[1] yang berarti menetap, mengurung diri atau terhalangi. Pengertiannya dalam konteks ibadah dalam Islam adalah berdiam diri di dalam masjid dalam rangka untuk mencari keridhaan Allah SWT dan bermuhasabah (introspeksi) atas perbuatan-perbuatannya. Orang yang sedang beriktikaf disebut juga mutakif.
Jenis-jenis iktikaf
Iktikaf yang disyariatkan ada dua macam: iktikaf sunat dan wajib.
1. Iktikaf sunnat adalah iktikaf yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk mendekatkan diri dan mengharapkan ridha Allah SWT seperti; iktikaf 10 hari terakhir pada bulan Ramadan
2. Iktikaf wajib adalah iktikaf yang dikarenakan bernazar (janji), seperti: “Kalau Allah SWT menyembuhkan penyakitku ini, maka aku akan beriktikaf.
Waktu iktikaf
Iktikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinazarkan, sedangkan iktikaf sunat tidak ada batasan waktu tertentu, kapan saja pada malam atau siang hari, waktunya boleh lama atau singkat.
Ya’la bin Umayyah berkata: “Sesungguhnya aku berdiam satu jam di masjid tak lain hanya untuk beriktikaf.”
Syarat-syarat iktikaf
Orang yang beri’tikaf harus memenuhi syarat-syarat[3] sebagai berikut:
1. Muslim
2. Niat
3. Baligh/Berakal
4. Suci dari hadats (junub), haid dan nifas
5. Dilakukan di dalam masjid
Oleh karena itu, iktikaf tidak sah bagi orang yang bukan muslim, anak-anak yang belum dewasa, orang yang terganggu kewarasannya, orang yang dalam keadaan junub, wanita dalam masa haid dan nifas.
Rukun-rukun iktikaf
1. Niat
2. Berdiam di masjid (QS. Al Baqarah : 187)
Di sini ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat iktikaf. Sebahagian ulama membolehkan iktikaf di setiap masjid yang digunakan untuk salat berjamaah lima waktu.
Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan salat jamaah setiap waktu.
Ulama lain mensyaratkan agar iktikaf itu dilaksanakan di masjid yang digunakan untuk membuat salat Jumat, sehingga orang yang beriktikaf tidak perlu meninggalkan tempat iktikafnya menuju masjid lain untuk salat Jumat.
Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi’iyah bahwa yang utama yaitu iktikaf di masjid jami’, kerana Rasulullah saw iktikaf di masjid jami’. Lebih utama di tiga masjid; Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsa.
Hal-hal yang diperbolehkan bagi mutakif (orang yang beriktikaf)
1. Keluar dari tempat iktikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap istrinya Sofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhari dan Muslim)
2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
3. Keluar untuk keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid, tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya .
4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.
5. menemui tamu di masjid untuk hal-hal yang diperbolehkan dalam agama

Hal-hal yang membatalkan iktikaf
1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan yang dikecualikan walaupun sebentar.
2. Murtad ( keluar dari agama Islam )
3. Hilangnya akal, karena gila atau mabuk
4. Haid atau nifas
5. Bersetubuh dengan istri[4], akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri- istrinya.
6. Pergi salat Jumat (bagi mereka yang membolehkan iktikaf di surau yang tidak digunakan untuk salat Jumat).
Panduan I’tikaf Ramadhan
Kategori: Ramadhan
I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]
Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]
I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]
I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. [8]
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]
Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksudkan. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.
Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]
Wanita Boleh Beri’tikaf
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]
Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]
Lama Waktu Berdiam di Masjid
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]
Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]
Yang Membatalkan I’tikaf
1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
2. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
1. Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
2. Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
3. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
4. Mandi dan berwudhu di masjid.
5. Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar Masjid
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]
Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

Artikel http://www.muslim.or.id
________________________________________
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.
[2] Al Mughni, 4/456.
[3] HR. Bukhari no. 2044.
[4] HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172.
[5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338
[6] Fathul Bari, 4/271.
[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.
[9] Fathul Bari, 4/271.
[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.
[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.
[12] Lihat Al Mughni, 4/462.
[13] Al Mugni, 4/461.
[14] HR. Bukhari no. 2041.
[15] HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.
[17] Lihat Fathul Bari, 4/272.
[18] Idem.
[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.
[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.
[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.
[22] Al Inshof, 6/17.
[23] Fathul Bari, 4/272.
[24] HR. Bukhari no. 2041.
[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158.
==========

Dari artikel ‘I’tikaf Ramadhan — Penyusun Abah Yunaz
muhammad-saw

Wahai Rasulullah! Seandainya kita mengetahui kapan waktu yang paling disukai Allah untuk kita berdoa dengan doa kami

Tafsir Surat al-Baqarah: 186

 

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (al-Baqarah 2:186).

Latar belakang turunnya ayat tersebut:

Ibnul Jauzi dalam tafsirnya (I / 189) menyebut lima peristiwa:

Pertama: Seorang arab badui mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata: Apakah Rabb kita dekat sehingga kita bermunajat (berbisik) dengan-Nya ataukah jauh sehingga kita menyeru-Nya? maka turunlah ayat ini.

Kedua: Yahudi Madinah berkata: Wahai Muhammad! Bagaimana Rabb kita mendengar doa kita sedangkan engkau menganggap antara kita dan langit berjarak perjalanan 500 tahun? Maka turunlah ayat ini.

Ketiga: Mereka (sahabat) berkata: Wahai Rasulullah! Seandainya kita mengetahui kapan waktu yang paling disukai Allah untuk kita berdoa dengan doa kami. Maka turunlah ayat ini.

Keempat: Sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: Di mana Allah? Maka turunlah ayat ini.

Kelima: Ketika diharamkan makan dan hubungan suami istri setelah bangun tidur pada masa awal-awal diwajibkannya puasa atas orang-orang Islam, seorang dari mereka (sahabat) makan setelah bangun tidur dan seorang behubungan suami istri setelah bangun tidur, maka mereka bertanya: Bagaimana cara bertaubat dari apa yang telah mereka lakukan?. Kemudian turunlah ayat ini.

Peristiwa-peristiwa tersebut sebagai latar belakang turunnya ayat ini juga disebutkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari (III / 223 – 225), Ibnu Katsir (II / 186 – 187), al-Baghawi (I / 204) dan al-Qurthubi (III / 177 – 178).

Tafsir:

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata dalam tafsirnya (III / 222):

“Allah Jalla tsanaa’uhu dengan ayat tersebut bermaksud: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau, wahai Muhammad, tentang Aku, Di manakah Aku? Maka sesungguhnya Aku adalah dekat dengan mereka, Aku mendengar doa mereka dan Aku menjawab doa orang yang berdoa di antara mereka”.

al-Baghawi dalam tafsirnya berkata (I / 204):

“Di dalam ayat ini ada yang tersirat, seakan-akan Allah berkata: Maka katakanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Aku adalah dekat dengan mereka dengan ilmu, tidak ada satupun yang tersembunyi, sebagaimana firman-Nya:

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

… , dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (Qaf 50:16)”

Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya (II / 188):

“Ini seperti firman-Nya ta’ala:

إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (an-Nahl 16:128),

sebagaimana firman-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihima as-salam:

إِنَّنِي مَعَكُمَآ أَسْمَعُ وَأَرَى

sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat (Thaha 20:46),

dan maksud dari ayat ini bahwa Allah ta’ala tidaklah mengecewakan orang yang berdoa, dan tidak ada satupun yang menyibukkan-Nya (sehingga tidak mendengar), justru Dia maha mendengarkan doa. Di dalam ayat ini terdapat penyemangat untuk berdoa dan bahwa Allah ta’ala tidaklah mensia-siakannya (doa) …”

asy-Syinqithi dalam Adhwa’ al-Bayan (I / 143) berkata:

“Allah menyebutkan dalam ayat ini bahwa Allah Jalla wa ‘Alaa dekat dan menjawab doa orang yang berdoa dan Allah menjelaskan dalam ayat yang lain adanya ketergantungan (syarat yakni) dengan kehendak-Nya. Ayat itu adalah:

فَيَكْشِفُ مَاتَدْعُونَ إِلَيْهِ إِن شَآءَ

maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki (al-An’am 6:41),

Dan sebagian (ulama tafsir) berkata (tentang ayat 6:41): ketergantungan (dikabulkannya doa) dengan kehendak (Allah) adalah untuk doa orang-orang kafir sebagaimana dzahir konteks ayatnya (artinya doa orang kafir dikabulkan dengan syarat Allah menghendakinya). Sedangkan janji mutlak (dikabulkannya doa) adalah untuk doa orang-orang yang beriman. Doa-doa mereka (mu’min) tidaklah ditolak, mungkin diberikan langsung seperti yang mereka minta, atau Allah menyimpan (untuk di akhirat) hal yang lebih baik untuk mereka, atau Allah menghindarkan kejelekan dari mereka dengan takdir-Nya. Sebagian ulama berkata: Maksud dari doa adalah ibadah dan maksud ijabah (menjawab) adalah pahala (sehingga “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku” bermakna: ”Aku memberikan pahala ibadah orang yang beribadah kepada-Ku apabila ia beribadah”), maka tidak ada kesulitan dalam memahaminya”.

al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya (III / 177):

“Firman Allah Ta’ala:

وَإِذَا سَأَلَكَ

(Dan apabila mereka bertanya kepadamu …)
bermakna: dan apabila mereka bertanya kepadamu tentang sesembahan mereka (Allah), maka beritahukan kepada mereka bahwa Dia adalah dekat, Dia memberi pahala atas ketaatan, menjawab orang yang berdoa dan mengetahui apa yang diperbuat hamba-Nya yang berupa puasa, shalat dan ibadah-ibadah yang lain”.

 

 

Beliau juga berkata (III / 178):

“Firman-Nya Ta’ala:

فَإِنِّي قَرِيبٌ

(Maka sesungguhnya Aku adalah dekat)
yakni: dengan jawaban-Nya, ada yang berkata: dengan ilmu-Nya. Ada juga yang berkata: dekat kepada wali-wali-Ku dengan memuliakan dan memberi nikmat pada mereka”.

Beliau melanjutkan (III / 178):

“Firman-Nya Ta’ala:

أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

(Aku menjawab doa orang yang berdoa kepada-Ku)
yakni: Aku menerima ibadah orang yang beribadah kepada-Ku, maka doa tersebut bermakna ibadah kepada-Nya. Ijabah (menjawab) tersebut bermakna menerima ibadah mereka”.

Beliau melanjutkan (III / 184 – 185):

فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي

(Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku))

Abu Raja’ al-Khurasani berkata: Maka hendaknya mereka berdoa kepada-Ku. Ibnu ‘Athiyah berkata: maknanya adalah: hendaknya mereka mencari jawaban (doa) mereka. Ini termasuk bab (wazan) istaf’ala yang bermakna thalaba (mencari sesuatu) kecuali seperti istaghnallah (yang bermakna menganggap yakni menganggap dirinya kaya atau cukup dari Allah). Mujahid dan yang lainnya berkata: maknanya: Hendaknya mereka menjawab (memenuhi panggilan) Ku terhadap apa yang telah aku serukan (panggil) pada mereka dari keimanan yakni : untuk taat dan beramal. Dikatakan: ajaaba dan istajaaba bermakna sama (yakni menjawab atau memenuhi panggilan).

Sedangkan ar-rasyaad (berpetunjuk) adalah kebalikan dari al-ghaiy (sesat) dari
rasyada yarsyudu rusydan.

al-Harawi berkata: ar-rusydu – ar-rasyadu – ar-rasyaadu : al-hudaa (petunjuk) dan al-isitqaamah (istiqamah) sebagaimana firman-Nya “la’allahum yarsyuduuna””.

Asy-Syaukani berkata dalam tafsirnya yakni Fathu al-Qadir (I/337):
“Firman ALLAH:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي
(Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,)

Salah satu kemungkinan maknanya adalah pertanyaan tentang dekat dan jauh-nya ALLAH sebagaimana ditunjukkan oleh:

فَإِنِّي قَرِيبٌ
(maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.)

Kemungkinan yang lain adalah: pertanyaan tentang dijawabnya doa yang telah dipanjatkan sebagaimana ditunjukkan oleh :

أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
(Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,)

Kemungkinan yang lain adalah: pertanyaan tentang apa-apa yang lebih umum dari yang telah disebutkan (jauh dan dekat atau jawaban dari doa).

Firman-Nya:

فَإِنِّي قَرِيبٌ
(maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.)

sebagian berkata: (dekat) dengan menjawab (doa), sebagian berkata: (dekat) dengan ilmu, sebagian berkata: dengan memberi nikmat …”

Beliau juga berkata: “Dzahir dari makna “ijabah” (menjawab) adalah tetap kembali kepada makna bahasanya. Adapun bahwa doa adalah termasuk ibadah tidaklah melazimkan bahwa “menjawab” bermakna mengabulkan doa yakni menjadikannya ibadah yang diterima. Menjawab doa adalah perkara yang lain yang tidak sama dengan menerima ibadah (doa) tersebut. Sehingga maksudnya adalah bahwa ALLAH subhanahu menjawab dengan apa yang Dia kehendaki dengan cara yang Dia kehendaki. Kadang-kadang yang diminta diberikan dengan segera atau setelah waktu yang lama. Kadang-kadang yang berdoa dihindarkan dari bala’ (musibah) yang tidak dia ketahuinya dengan sebab dia berdoa. Ini semua dengan syarat tidak adanya hal yang melampaui batas dari orang yang berdoa dalam doanya sebagaiman firman ALLAH:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-A’raaf :55).

Termasuk melampaui batas dalam berdoa adalah meminta apa yang tidak berhak baginya, tidak pantas baginya, seperti orang yang meminta kedudukan di surga sama dengan kedudukan para nabi atau lebih tinggi.

Firmannya

فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي

maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku

Yakni: sebagaimana Aku telah menjawab mereka apabila mereka berdoa kepada-Ku, maka hendaknya mereka menjawab-Ku terhadap apa yang Aku serukan kepada mereka dari keimanan dan ketaatan. Dan dikatakan bahwa maknanya adalah: Sesungguhnya mereka memohon jawaban ALLAH subhanahu terhadap doa-doa mereka dengan cara menjawab (seruan) ALLAH yakni dalam menegakkan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya”.

Ibnu Rajab al-Hambali berkata dalam Rawai’u at-Tafsir (1/138-142):

“Dan tidaklah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memahamai nash-nash ini selain makna yang benar yang dimaksud. Mereka mengambil faidah dengannya berupa ma’rifat (mengenali) keagungan ALLAH dan kemuliaan-Nya; pengawasan dan penglihatan-Nya atas hamba-hamba-Nya dan pengetahuan-Nya atas mereka; kedekatan-Nya pada hamba-hamba-Nya dan ijabah-Nya atas doa-doa mereka sehingga menjadikan mereka (sahabat) bertambah-tambah khasyah (takut) kepada ALLAH, mengagungan-Nya, memuliakan-Nya, segan kepada-Nya, muraqabah (merasa diawasi-Nya) dan rasa malu (kepada-Nya). Dan mereka beribadah kepada-Nya seakan-akan mereka melihat-Nya”.

Ibnu Rajab juga berkata:

“Kemudian muncul setelah mereka orang yang sedikit wara’nya, buruk pemahaman dan maksudnya, lemah pengagungan terhadap ALLAH, lemah rasa takut (kepada ALLAH) di dalam dadanya. Mereka ingin dilihat manusia sebagai orang yang istimewa dengan pemahaman yang dalam dan kuatnya pemikiran, hingga beranggapan bahwa nash-nash ini menunjukkan bahwa ALLAH dengan dzat-Nya ada di setiap tempat sebagaimana dikisahkan pemahaman tersebut dari kelompok-kelompok jahmiyyah, mu’tazilah dan yang sejalan dengan mereka, sungguh Maha tinggi ALLAH dari apa yang mereka katakan. Pemahaman ini tidaklah terlintas pada orang sebelum mereka dari kalangan para sahabat radhiallahu ‘anhum. Mereka (jahmiyyah, mu’tazilah dan yang sejalan) adalah termasuk orang yang mengikuti apa yang mutasyabih dan mencari fitnah dan ta’wilnya. Dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan ummatnya dari mereka dalam hadits ‘Aisyah yang shahih dan muttafaqun ‘alaihi (al-Bukhari dan Muslim)”.

“Mereka juga terperangkap dengan pemahaman mereka yang lemah dengan maksud yang rusak terhadap ayat-ayat di dalam Kitab ALLAH (al-Quran) seperti firman-Nya:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ

Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. (QS al-Hadid: 4)

dan firman-Nya:

مَايَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ

Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. (QS al-Mujaadilah: 7)

Sebagian ulama salaf berkata berkaitan dengan ayat tersebut: ALLAH tidak bermaksud kecuali bahwa Dia bersama mereka dengan ilmu-Nya. Mereka (para ‘ulama salaf) bermaksud membatalkan apa yang dikatakan oleh mereka (jahmiyyah, mu’tazilah dan yang sejalan) yang tidak pernah dikatakan dan difahami dari al-Quran oleh orang sebelum mereka”.

“Termasuk yang berkata bahwa kebersamaan (ma’iyah) ini adalah dengan ilmu-Nya (bukan dengan dzat-Nya) adalah Muqatil bin Hayyan dan diriwayatkan darinya bahwa beliau meriwayatkan dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas”.

“Perkataan ini juga dikatakan oleh Adh-Dhahhak, beliau berkata: ALLAH di atas ‘arsy-Nya dan ilmu-Nya di setiap tempat”.

“Perkataan serupa juga diriwayatkan dari Malik, ‘Abdul ‘Aziz bin al-Majisyun, Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq dan selain mereka dari pada imam-imam salaf”.

“al-Imam Ahmad meriwayatkan: terlah bercerita kepada kami ‘Abdullah bin Nafi’, beliau berkata, Malik berkata: ALLAH di atas langit dan ilmunya di setiap tempat”.

“Makna ini juga diriwayatkan dari ‘Ali dan Ibnu Mas’ud”.

“Al-Hasan berkata tentang firman-Nya Ta’ala:

إِنَّ رَبَّكَ أَحَاطَ بِالناَّسِ

Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia (QS al-Israa: 60)

Beliau (al-Hasan) berkata: ilmu-Nya terhadap manusia”.

“Ibnu Abdil Barr dan yang lain menceritakan adanya ijma’ (kesepakatan) ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in tentang ta’wil (tafsir) firman-Nya:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ

Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. (QS al-Hadid: 4)

bahwa maksudnya adalah ‘ilmunya”.

“Semua ini mereka maksudkan sebagai bantahan terhadap orang yang berkata: sesungguhnya Dia (ALLAH) Ta’ala dengan dzatnya ada di setiap tempat”.

Sebagian orang yang mengaku pandai beranggapan bahwa apa yang dikatakan oleh para imam tersebut adalah salah, karena ilmu ALLAH adalah sifat yang tidak berpisah dari dzat-Nya. Ucapan ini adalah buruk sangka dengan para imam-imam Islam karena mereka tidaklah bermaksud seperti apa yang dia sangka. Mereka tidak bermaksud kecuali bahwa ilmu ALLAH melekat dengan (meliputi) apapun yang ada di seluruh tempat oleh karena itu apa ada di seluruh tempat tersebut adalah apa yang ALLAH ilmui (ketahui) bukan sifat dari dzat-Nya. Sebagaimana isyarat itu ada dalam al-Quran dengan firman-Nya:

وَسِعَ كُلَّ شَىْءٍ عِلْمًا

Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu (QS Thaha: 98)

dan

رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَىْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا

Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu (QS Ghafir: 7)

serta

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَايَلِجُ فِي اْلأَرْضِ وَمَايَخْرُجُ مِنْهَا وَمَايَنزِلُ مِنَ السَّمَآءِ وَمَايَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ

Kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. (QS al-Hadid: 4)”.

“Harb berkata: Aku bertanya Ishaq tentang firman-Nya:

مَايَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ

Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. (QS al-Mujaadilah: 7)

Beliau berkata: Di manapun engkau ada, Dia lebih dekat kepadamu dari pada urat lehermu dan Dia terpisah dari makhluknya.

Dan bukanlah sifat dekat ini seperti dekatnya makhluk seperti yang telah diketahui sebagaimana disangka oleh orang-orang yang sesat. Sifat dekat ini adalah dekat yang tidak menyerupai sifat dekat dari makhluk sebagaimana Yang disifati (dengan dekat) adalah:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” QS asy-Syura: 11.

Seperti ini juga perkataan tentang hadis-hadis nuzul (turunnya ALLAH) ke langit dunia, sesungguhnya sifat nuzul itu semacam sifat dekatnya Rabb kepada orang yang berdoa kepada-Nya, meminta kepada-Nya dan mohon ampun kepada-Nya.

Hammad bin Zaid pernah ditanya tentang hal teresebut, maka beliau berkata: Dia ada di tempat-Nya mendekat pada makhuqnya sebagaimana yang Dia kehendaki.

Maksudnya bahwa nuzul-Nya tidaklah berpindah dari satu tempat ke tempat lain seperti nuzulnya makhuq-makhluk.

Hanbal berkata: Aku bertanya kepada Abu Abdillah: Apalah ALLAH turun ke langit dunia? Beliau menjawab: betul. Aku berkata: Turun-Nya dengan ilmunya atau dengan apa? Beliau menjawab: Diamlah engkau dari hal ini, ada apa denganmu dengan ini? Beliau berkata: Baiklah, biarkanlah hadis itu atas apa yang diriwayatkan tanpa bagaimana tanpa batasan kecuali dengan apa-apa yang dibawa oleh atsar-atsar (riwayat-riwayat) dan apa-apa yang dibawa oleh al-Kitab (al-Quran). ALLAH berfirman:

فَلاَ تَضْرِبُوا لِلَّهِ اْلأَمْثَالَ

“Janganlah engkau mengadakan persamaan-persamaan bagi ALLAH …” QS an-Nahl: 74.

Dia (ALLAH) turun (nuzul) sebagaimana yang Dia kehendaki dengan ilmu-Nya, qudrah-Nya, dan keagungan-Nya. Dia -yakni ilmuNya- meliputi segala sesuatu. Orang yang berusaha mensifati-Nya tidak akan mencapai derajat (ketinggian) Nya. Tidak akan jauh dari-Nya ‘azza wa jalla, orang-orang yang berlari (menjauh dari-Nya).

Maksudnya: Bahwa nuzul-Nya Ta’ala bukanlah seperti nuzulnya makhluk-makhluk akan tetapi nuzul-Nya adalah nuzul yang sesuai dengan qudrah-Nya, keagungan-Nya dan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu. Sedangkan makhluk-makhluk tidak bisa meliputi ALLAH dengan ilmu pengetahuan. Mereka hanya mampu sampai kepada apa yang ALLAH khabarkan kepeda mereka tentang diri-Nya dan apa yang dikhabarkan tentang-Nya oleh Rasul-Nya.

Oleh karena itu salaf shalih sepakat atas membiarkan nash-nash ini sebagaimana datangnya tanpa tambahan dan pengurangan. Sedangkan apa-apa yang sudah difahami dari nash-nash (sifat) itu dan apa apa yang terbatasnya akal dalam mengetahui hakikatnya diserahkan kepada yang mengetahuinya.

Selesai ucapan Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah.

al-Qasimi dalam tafsirnya (II/431) menjelaskan makna qarib (dekat):
“Maknanya Yang dekat kepada hamba-Nya dengan cara mendengar doanya, melihat hambanya merendahkan dirinya (sungguh-sungguh memohon), dan dengan ilmu-Nya.”

Dari penjelasan para ulama di atas beberapa pelajaran yang bisa didapatkan adalah:

ALLAH Ta’ala dekat (qarib) dengan hamba-hamba-Nya dengan ilmunya bukan dengan dzat-Nya. Dzat ALLAH ada di atas ‘Arsy-Nya di atas langit sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahahaman para salaf. Sifat dekat ALLAH tidak menyerupai apapun dari makhluknya dan begitu pula sifat-sifat-Nya yang lain.

Manhaj para salaf dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in dalam nama-nama dan sifat-sifat ALLAH adalah membiarkan apa adanya tanpa bagaimana dan batasan-batasan yakni tanpa menanyakan bagaimananya, tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya, tanpa penolakan dan tanpa pengubahan dari makna asalnya.

Disyari’atkan dan diperintahkan berdo’a kepada ALLAH, karena berdoa diperintahkan maka berdo’a adalah perbuatan yang diridhai-Nya sehingga termasuk ibadah. Semakin sering berdo’a maka dia akan mendapat lebih banyak ridha dan pahala dari ALLAH Ta’ala di samping dikabulkan doanya.

ALLAH Ta’ala akan menjawab setiap doa dari hamba-hamba-Nya apabila memenuhi syarat dan tidak adanya penghalang yang mengakibatkan doa seseorang tidak dijawab oleh ALLAH Ta’ala. Jawaban ALLAH atas setiap doa tidak selalu sama persis dengan yang diinginkan hamba-Nya akan tetapi ada tiga kemungkinan seperti telah dijelaskan.

Menjawab seruan ALLAH Ta’ala yakni dengan beriman kepada-Nya dan melaksanakan keta’atan kepada-Nya adalah cara mendapatkan jawaban ALLAH atas doa-doa hamba-Nya. Maka beriman dan ta’at kepada ALLAH yakni dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya adalah salah satu sebab doa-doa hamba-Nya dijawab oleh ALLAH. Menjawab seruan ALLAH Ta’ala dengan keimanan dan keta’atan juga penyebab seseorang mendapatkan petunjuk.

ALLAH Ta’ala A’lam bi ash-shawabGambar

Apa itu Islam, Iman, dan Ihsan .. ?

Hadits ( IMAN, ISLAM, DAN IHSAN )
عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال : بينما نحن جلوس عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم إذ طلع علينا رجل شديد بياض الثياب شديد سواد الشعر , لا يرى عليه أثر السفر , ولا يعرفه منا أحد حتى جلس إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأسند ركبته إلى ركبتيه ووضح كفيه على فخذيه , وقال : يا محمد أخبرني عن الإسلام , فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا ” قال صدقت فعجبا له يسأله ويصدقه , قال : أخبرني عن الإيمان قال ” أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره ” قال : صدقت , قال : فأخبرني عن الإحسان , قال ” أن تعبد الله كأنك تراه , فإن لم تكن تراه فإنه يراك ” قال , فأخبرني عن الساعة , قال ” ما المسئول بأعلم من السائل ” قال فأخبرني عن اماراتها . قال ” أن تلد الأمة ربتها وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشاء يتطاولون في البنيان ” . ثم انطلق فلبث مليا , ثم قال ” يا عمر , أتدري من السائل ؟” , قلت : الله ورسوله أعلم , قال ” فإنه جبريل أتاكم يعلمكم دينكم ” رواه مسلم
Dari Umar bin Al-Khathab radhiallahu ‘anh, dia berkata: ketika kami tengah berada di majelis bersama Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak dihadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk di hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah dan meletakkan tangannya diatas paha Rasulullah, selanjutnya ia berkata,” Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam ” Rasulullah menjawab,”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Alloh, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Romadhon dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.” Orang itu berkata,”Engkau benar,” kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya Orang itu berkata lagi,” Beritahukan kepadaku tentang Iman” Rasulullah menjawab,”Engkau beriman kepada Alloh, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk” Orang tadi berkata,” Engkau benar” Orang itu berkata lagi,” Beritahukan kepadaku tentang Ihsan” Rasulullah menjawab,”Engkau beribadah kepada Alloh seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.” Orang itu berkata lagi,”Beritahukan kepadaku tentang kiamat” Rasulullah menjawab,” Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya.” selanjutnya orang itu berkata lagi,”beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya” Rasulullah menjawab,” Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan puterinya, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan.” Kemudian pergilah ia, aku tetap tinggal beberapa lama kemudian Rasulullah berkata kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya itu?” Saya menjawab,” Alloh dan Rosul-Nya lebih mengetahui” Rasulullah berkata,” Ia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepadamu tentang agama kepadamu” [HR.Muslim]
 
Hadits ini menunjukkan adanya contoh berpakaian yang bagus, berperilaku yang baik dan bersih ketika datang kepada ulama, orang terhormat atau penguasa, karena jibril datang untuk mengajarkan agama kepada manusia dalam keadaan seperti itu.
Kalimat “ Ia meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua paha beliau, lalu ia berkata : Wahai Muhammad…..” adalah riwayat yang masyhur. Nasa’i meriwayatkan dengan kalimat, “Dan ia meletakkan kedua tangannya pada kedua lutut Rasulullah….” Dengan demikian yang dimaksud kedua pahanya adalah kedua lututnya.

Dari hadits ini dipahami bahwa islam dan iman adalah dua hal yang berbeda, baik secara bahasa maupun syari’at. Namun terkadang, dalam pengertian syari’at, kata islam dipakai dengan makna iman dan sebaliknya.
Kalimat, “Kami heran, dia bertanya tetapi dia sendiri yang membenarkannya” mereka para shahabat Rasulullah menjadi heran atas kejadian tersebut, karena orang yang datang kepada Rasulullah hanya dikenal oleh beliau dan orang itu belum pernah mereka ketahui bertemu dengan Rasulullah dan mendengarkan sabda beliau. Kemudian ia mengajukan pertanyaan yang ia sendiri sudah tahu jawabannya bahkan membenarkannya, sehingga orang-orang heran dengan kejadian itu.

Kalimat, “Engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, dan kepada kitab-kitab-Nya….” Iman kepada Allah yaitu mengakui bahwa Allah itu ada dan mempunyai sifat-sifat Agung serta sempurna, bersih dari sifat kekurangan,. Dia tunggal, benar, memenuhi segala kebutuhan makhluk-Nya, tidak ada yang setara dengan Dia, pencipta segala makhluk, bertindak sesuai kehendak-Nya dan melakukan segala kekuasaan-Nya sesuai keinginan-Nya.Iman kepada Malaikat, maksudnya mengakui bahwa para malaikat adalah hamba Allah yang mulia, tidak mendahului sebelum ada perintah, dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya.

Iman kepada Para Rasul Allah, maksudnya mengakui bahwa mereka jujur dalam menyampaikan segala keterangan yang diterima dari Allah dan mereka diberi mukjizat yang mengukuhkan kebenarannya, menyampaikan semua ajaran yang diterimanya, menjelaskan kepada orang-orang mukalaf apa-apa yang Allah perintahkan kepada mereka. Para Rasul Allah wajib dimuliakan dan tidak boleh dibeda-bedakan.Iman kepada hari Akhir, maksudnya mengakui adanya kiamat, termasuk hidup setelah mati, berkumpul dipadang Mahsyar, adanya perhitungan dan timbangan amal, menempuh jembatan antara surga dan neraka, serta adanya Surga dan Neraka, dan juga mengakui hal-hal lain yang tersebut dalam Qur’an dan Hadits Rosululloh.
Iman kepada taqdir yaitu mengakui semua yang tersebut diatas, ringkasnya tersebut dalam firman Allah QS. Ash-Shaffaat : 96, “Allah menciptakan kamu dan semua perbuatan kamu” dan dalam QS. Al-Qamar : 49, “Sungguh segala sesuatu telah kami ciptakan dengan ukuran tertentu” dan di ayat-ayat yang lain. Demikian juga dalam Hadits Rasulullah, Dari Ibnu Abbas, “Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan suatu keuntungan kepadamu, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang Allah telah tetapkan pada dirimu. Sekiranya merekapun berkumpul untuk melakukan suatu yang membahayakan dirimu, niscaya tidak akan membahayakan dirimu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Segenap pena diangkat dan lembaran-lembaran telah kering” Para Ulama mengatakan, Barangsiapa membenarkan segala urusan dengan sungguh-sungguh lagi penuh keyakinan tidak sedikitpun terbersit keraguan, maka dia adalah mukmin sejati.
Kalimat, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya….” Pada pokoknya merujuk pada kekhusyu’an dalam beribadah, memperhatikan hak Allah dan menyadari adanya pengawasan Allah kepadanya serta keagungan dan kebesaran Allah selama menjalankan ibadah. Kalimat, “Beritahukan kepadaku tanda-tandanya ? sabda beliau : Budak perempuan melahirkan anak tuannya” maksudnya kaum muslimin kelak akan menguasai negeri kafir, sehingga banyak tawanan, maka budak-budak banyak melahirkan anak tuannya dan anak ini akan menempati posisi majikan karena kedudukan bapaknya. Hal ini menjadi sebagian tanda-tanda kiamat. Ada juga yang mengatakan bahwa itu menunjukkan kerusakan umat manusia sehingga orang-orang terhormat menjual budak yang menjadi ibu dari anak-anaknya, sehingga berpindah-pindah tangan yang mungkin sekali akan jatuh ke tangan anak kandungnya tanpa disadarinya.
Hadits ini juga menyatakan adanya larangan berlomba-lomba membangun bangunan yang sama sekali tidak dibutuhkan. Sebagaimana sabda Rasulullah,” Anak adam diberi pahala untuk setiap belanja yang dikeluarkannya kecuali belanja untuk mendirikan bangunan” Kalimat, “Penggembala Domba” secara khusus disebutkan karena merekalah yang merupakan golongan badui yang paling lemah sehingga umumnya tidak mampu mendirikan bangunan, berbeda dengan para pemilik onta yang umumnya orang terhormat.
Kalimat, “Saya tetap tinggal beberapa lama” maksudnya Umar radhiallahu ‘anh tetap tinggal ditempat itu beberapa lama setelah orang yang bertanya pergi, dalam riwayat yang lain yang dimaksud tetap tinggal adalah Rosululloh.
Kalimat, “Ia datang kepada kamu sekalian untuk mengajarkan agamamu” maksudnya mengajarkan pokok-pokok agamamu, demikian kata Syaikh Muhyidin An Nawawi dalam syarah shahih muslim. Isi hadits ini yang terpenting adalah penjelasan islam, iman dan ihsan, serta kewajiban beriman kepada Taqdir Allah Ta’ala.

Sesungguhnya keimanan seseorang dapat bertambah dan berkurang, QS. Al-Fath : 4, “Untuk menambah keimanan mereka pada keimanan yang sudah ada sebelumnya”. Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya bahwa ibnu Abu Mulaikah berkata, “Aku temukan ada 30 orang shahabat Rasulullah yang khawatir ada sifat kemunafikan dalam dirinya. Tidak ada seorangpun dari mereka yang berani mengatakan bahwa ia memiliki keimanan seperti halnya keimanan Jibril dan Mikail ‘alaihimus salaam”

Kata iman mencakup pengertian kata islam dan semua bentuk ketaatan yang tersebut dalam hadits ini, karena semua hal tersebut merupakan perwujudan dari keyakinan yang ada dalam bathin yang menjadi tempat keimanan. Oleh karena itu kata Mukmin secara mutlak tidak dapat diterapkan pada orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar atau meninggalkan kewajiban agama, sebab suatu istilah harus menunjukkan pengertian yang lengkap dan tidak boleh dikurangi, kecuali dengan maksud tertentu. Juga dibolehkan menggunakan kata Tidak beriman sebagaimana pengertian hadits Rasulullah, “Seseorang tidak berzina ketika dia beriman dan tidak mencuri ketika dia beriman” maksudnya seseorang dikatakan tidak beriman ketika berzina atau ketika dia mencuri.

Kata islam mencakup makna iman dan makna ketaatan, syaikh Abu ‘Umar berkata, “kata iman dan islam terkadang pengertiannya sama terkadang berbeda. Setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin” ia berkata, “pernyataan seperti ini sesuai dengan kebenaran” Keterangan-keterangan Al-Qur’an dan Assunnah berkenaan dengan iman dan islam sering dipahami keliru oleh orang-orang awam. Apa yang telah kami jelaskan diatas telah sesuai dengan pendirian jumhur ulama ahli hadits dan lain-lain. Wallahu a’lam

emyuenampuluhtujuh ( Abah Yunaz )

CARILAH ORANG SALEH, DIA AKAN MENUNJUKAN JALAN YANG HAQ & BATHIL

fueled by diet coke

failing upward

Chrissie Adams

Humorist. Introvert Dynamo. Frito Pie Enthusiast.

Kumpulan Hadist Bukhari Muslim

Mutiara Hadits Bukhari Muslim - Al Lu'lu' Wal Marjan